Alun-Alun Kota Malang |
“Dulu rumah saya yang warna putih itu!” jari
telunjuknya tampak sedikit gemetar sembari menunjuk kesebuah rumah yang sudah
hancur akibat Lumpur Lapindo Brantas. Senyumnya cukup getir dengan pandangan
mata yang nanar dan kosong ketika menatap rumah yang berdiri dengan atap yang
tampak reyot itu, temboknya sudah mulai hancur dengan lantai yang diselimuti
debu jalanan.
Pak Tikno
namanya, beliau adalah orang yang mengantarkan kami dari Kota Surabaya menuju
Kota Malang dengan jarak kurang lebih sembilan puluh kilometer untuk mencapai
kota apel ini. Jalur yang kami lewati yaitu melalui Porong Sidoarjo jalur yang
cukup terik dan gersang yang menjadi
saksi bisu tragedi Lapindo Brantas.
Beliau
berkisah dikarenakan rumahnya dipinggir jalan sehingga belum diganti rugi, yang
diganti hanyalah bangunan tertutup lumpur yang berada didalam tanggul besar
yang dibangun menjulang tinggi lebih dari 5 meter dari gundukan tanah. Ironis!, sebuah tragedi karena kelalaian
manusia yang dipolitisasi menjadi sebuah bencana alam.