Disaat lampu jalanan mulai terang benderang, disaat itulah
kehidupan malam di Bangla Road dimulai. Jedag-jedug dentuman lagu dari berbagai
aliran musik terdengar begitu meriah sesaat jalan tersebut ditutup untuk
kendaraan dan disulap menjadi jalan khusus pejalan kaki dan pusat keramaian
malam. Beberapa wanita dan waria dengan dandanan yang menor dan berbaju minim
mulai berdiri di sepanjang jalan itu mempromosikan café, lounge dan tempat
hiburan.
Kami menyeruak keramaian jalan itu untuk mencari makan malam.
Beberapa pramuniaga pun ikut menawarkan kami untuk melihat pertunjukan penari
waria dan wanita yang harganya tertera pada selembar kertas berlaminating yang
berisi daftar harga yang mereka tawarkan. Dengan sopan kamipun berlalu tidak
mengindahkan mereka dan lebih memilih menuju pasar malam untuk mencari makanan
halal. Perut yang lapar, uang yang terbatas dan iman yang kuat (*eeeh,) adalah alasannya kami menolak tawaran tersebut.
“Bangla Boxing Stadium,
The Real Fight at nine PM, Tonight!, Tonight!, Tonight!”
“Bangla Boxing Stadium,
The Real Fight at nine PM, Tonight!, Tonight!, Tonight!”