Pages

Thursday, May 27, 2021

Asia Overland. Sepenggal Kisah Pendatang di Venice Timur

Setelah keheningan malam mulai memecah, seiring dengan sang surya yang mulai merekah. Disisa hariku di Brunei aku memutuskan untuk kembali menyusuri Kampung Ayer untuk menyelami lebih dalam kehidupan di kampung itu, sendiri tanpa Mr. Bartek dikarenakan ia harus melanjutkan perjalananya ke kota Miri. Ketika semalam air pasang menutup dasar tepi sungai, di pagi hari ini tampak surut sehingga dasarnya tampak dengan jelas. Ribuan kawanan kepiting bergeliat muncul dari persembunyiannya, begitu juga halnya dengan kawanan monyet liar yang turun dari hutan seakan ingin bermain dalam keheningan pagi itu.
Berinteraksi secara langsung dan mengamati lebih dekat kehidupan di perkampungan ini membuatku merasakan hal yang berbeda. Kehidupan bersahaja tanpa hiruk-pikuk suara bising perkotaan dengan keakraban yang hangat. Tak ada yang lebih nikmat duduk santai selonjoran di tepi jembatan kayu sambil mengamati kehidupan di kampung ini. Tak perlu harus diburu waktu, aku hanya ingin menikmatinya sesaat dengan penuh ketenangan. Karena sangat disayangkan jika hanya melihat Kampong Ayer dari kejauhan tanpa menyusuri eksotisme kehidupan di rumah panggung dan masuk kedalam lorong kecil yang menjalar disetiap sudutnya.


Ketika hendak memotret kehidupan di pasar tradisional di tepi sungai dekat masjid Al-Muhtadee Billah Kampong Sungai Kebun aku disapa oleh seorang ibu yang sedang menjajakan dagangannya. “Kau dari Indonesia?” Beliau bertanya kepadaku.
“Iya ibu, saya datang dari Indonesia” Jawabku.
“Saya juga dulu dari Indonesia” Serayanya menyambut jawabanku.
“Dulu? Maksudnya apa bu?” Seketika ku menghentikan aktifitas memotretku dan mengaitkannya di leher kemudian berbincang-bincang dengannya.
Sambil mengasuh anaknya yang kira-kira berumur 5 tahun dia bercerita tentang banyak hal tentang kehidupannya sebagai seorang pendatang, Akupun mendengarkannya dengan seksama. “Saya senang ketika bertemu orang Indonesia, sedikit mengobati rindu akan kampung halaman”. Ucapnya kepadaku. Ibu Dini namanya, awalnya ketika menjadi imigran ke negara Brunei dia masuk sebagai Tenaga Kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga. 




Takdir mempertemukannya kepada sosok pria Brunei yang bernama Pak Aji yang kini menjadi tambatan hatinya sehingga ia kini telah berubah warga negara menjadi negara Brunei. Walau sudah bertahun-tahun menetap disini, tetapi ingatannya akan masa kecilnya di Kemanggisan sebagai orang Betawi tak akan pernah lekang dimakan waktu, begitu rapih disimpannya dalam sebuah kenangan.

“Masih adakah hasrat untuk kembali ke kampung halaman bu?” Tanyaku kepadanya.
“Tentunya harapan itu selalu ada, tetapi kini bersama suami dan anak, saya menjalani hidup yang baru disini, di rumah saya di daerah Limbang.” Ucapnya. Di dalam hati aku tahu perasaan rindu rumah itu pasti ada, dan aku tahu sekali bagaimana rasanya homesick rindu akan pulang ke rumah.
Ibu Dini masih menjaga hubungan baik dengan beberapa sanak keluarganya, sampai-sampai dia memberi tahukanku nomor teleponnya dan bercerita mengenai tempat sanak keluarganya tinggal. Selain itu hal yang selalu dilakukan untuk mengurangi rasa rindu anak rumah dengan menonton acara TV Indonesia. Disini semuanya pakai parabola, jadi kita bisa tahu berita terbaru dari Indonesia. “Ikut senang disana ada Pak Jokowi”. Ucapnya. Akupun mengangguk membenarkan ucapannya.

Hampir semua orang disini nonton acara di TV nya itu dari Indonesia, karena acaranya bagus-bagus. Kalau acara TV di Brunei itu membosankan, hanya tentang berita dan masjid saja. Ucapnya.
“Disini tidak boleh ada karaoke, tidak ada acara musik, tidak boleh ada pub, sampai rokok pun dilarang dijual bebas. Semua yang ada disini lurus-lurus saja.” Ia kembali curhat kepadaku.
“Tapi semua orang disini cinta sama Raja dan Sultan, kalau mengaku orang miskin akan dapat rumah dan uang dari Sultan. Jadi sebenarnya orang-orang yang tinggal di sungai ini juga dapat rumah dari Sultan di darat, tapi mereka lebih suka tinggal disini. Jadinya orang-orang disini banyak yang punya dua rumah di darat dan di sungai.” Lanjutnya bercerita.
“Orang disini boros, pas hari raya mereka bisa mengganti perabotan, horden hingga kursi. Mereka juga membeli hingga 5 pasang pakaian perorangnya khususnya wanita. Yang rumah di atas sungai ini saja bisa punya 3 kereta parkirnya di darat semua. Tapi saya mengajarkan suami saya untuk tidak boros dan mencukupi kebutuhan kami dengan dagang sate di hari jumat dan minggu, karena kalau hari lain dia bekerja di kantor pos”. Sambil menepuk pundak suaminya dengan penuh kebanggaan.
“Oh gitu, iya bu.” Ucapku tersenyum mendengar ceritanya.
 “Kalau kau mau kesini lagi datanglah dua hari setelah hari raya, istana dibuka jadi bisa bertemu dengan Sultan. Sultan begitu dicintai dan dihormati oleh penduduk disini karena adil, hasil kekayaan negeri dibagi tiga dengan merata untuk kerajaan, Sultan dan rakyat. Untuk murid  yang pintar juga bisa di sekolahkan keluar negeri sampai ke Mesir. Dan Anak-anaknya Sultan juga tidak sombong suka datang juga ke pasar-pasar tradisional untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya dan mendengar keluhan kalau ada.”


“Iya bu, semoga lain kali ada kesempatan untuk kembali kesini pas hari raya.” Jawabku.
Ini catat nomor telepon saya, nanti jika ada masa lapang datang kesini lagi, saya ajak bersiar-siar keliling Brunei”. Ucapnya kepadaku.
Dari penjelasannya kini aku tahu kalau di Brunei itu hari liburnya adalah hari jumat dan minggu khususnya untuk perkantoran dan sekolahan. Hal inilah yang aku lihat juga ketika hendak memasuki waktu sholat jumat, tanpa terkecuali semua toko dan perkantoran tutup hingga jam dua untuk waktu melaksanakan shalat.
Selain ibu Dini, akupun bertemu dengan beberapa orang yang dulunya Indonesia yang bertahan hidup disini. Sebagian besar berasal dari daerah perbatasan Kalimantan Barat yang masuk dengan jalur darat melalui Serawak dan sampai di negara Brunei untuk mencoba peruntungan. Ada juga kisah ibu Julia yang berasal dari Jawa Timur sudah lebih dari tujuh tahun tinggal di kota ini dengan pengalaman hidup yang kurang lebih sama dengan kaum pendatang lainnya.
 


 
 
Ya begitulah gambaran kecil kehidupan yang terkurung di perbatasan, ketika masyarakat di perbatasan masih jauh tertinggal kemudian melihat tetangganya berkembang pesat tentunya ada hasrat untuk mencoba peruntungan di negeri sebelah. Mungkin sebagian dari mereka sudah lelah menunggu untuk mendapatkan arti kemerdekaan sesungguhnya di tanah kelahiran mereka, lelah menanti janji pembangunan yang adil dan merata hingga ke pelosok daerah. Itu sebagian yang kurenungi selama aku berbincang-bincang dengan mereka kaum pendatang.


Tonton video kami mengenai pengalaman kami saat tinggal menetap dan berkunjung ke destinasi wisata Brunei Darussalam di youtube channel kami ini ya.
 

Apabila kamu ada rencana liburan ke Brunei Darussalam dan ingin mendapatkan sensasi menginap dengan suasana yang berbeda dari hotel pada umumnya saya sarankan bisa mencari di Airbnb.com dimana kamu bisa menginap di rumah penduduk di Brunei Darussalam, apartement, guesthouse atau penginapan lainnya. Bagi kamu yang belum mendaftar Airbnb kamu bisa menggunakan kode referral saya di link Airbnb.com ini agar bisa mendapatkan kredit / voucher hingga 40 USD yang dapat kamu gunakan untuk memesan penginapan. Tertarik? Yuk Daftar airbnb.com disini

Follow my instagram @travelographers , Youtube account shu travelographer 
twitter account @travelographers 
and if you found the post useful or interesting please do share! :)

Apabila bermanfaat dan menginspirasi, mohon di-bookmarks dan di-share ya
Salam Pejalan.

1 comment: