Setelah keheningan
malam mulai memecah, seiring dengan sang surya yang mulai merekah. Disisa
hariku di Brunei aku memutuskan untuk kembali menyusuri Kampung Ayer untuk
menyelami lebih dalam kehidupan di kampung itu, sendiri tanpa Mr. Bartek
dikarenakan ia harus melanjutkan perjalananya ke kota Miri. Ketika semalam air
pasang menutup dasar tepi sungai, di pagi hari ini tampak surut sehingga dasarnya
tampak dengan jelas. Ribuan kawanan kepiting bergeliat muncul dari persembunyiannya,
begitu juga halnya dengan kawanan monyet liar yang turun dari hutan seakan
ingin bermain dalam keheningan pagi itu.
Berinteraksi secara
langsung dan mengamati lebih dekat kehidupan di perkampungan ini membuatku
merasakan hal yang berbeda. Kehidupan bersahaja tanpa hiruk-pikuk suara bising
perkotaan dengan keakraban yang hangat. Tak ada yang lebih nikmat duduk santai
selonjoran di tepi jembatan kayu sambil mengamati kehidupan di kampung ini. Tak
perlu harus diburu waktu, aku hanya ingin menikmatinya sesaat dengan penuh
ketenangan. Karena sangat disayangkan jika hanya melihat Kampong Ayer dari
kejauhan tanpa menyusuri eksotisme kehidupan di rumah panggung dan masuk
kedalam lorong kecil yang menjalar disetiap sudutnya.
Ketika hendak memotret
kehidupan di pasar tradisional di tepi sungai dekat masjid Al-Muhtadee Billah Kampong
Sungai Kebun aku disapa oleh seorang ibu yang sedang menjajakan dagangannya.
“Kau dari Indonesia?” Beliau bertanya kepadaku.
“Iya ibu, saya datang
dari Indonesia” Jawabku.
“Saya juga dulu dari
Indonesia” Serayanya menyambut jawabanku.
“Dulu? Maksudnya apa
bu?” Seketika ku menghentikan aktifitas memotretku dan mengaitkannya di leher
kemudian berbincang-bincang dengannya.
Sambil mengasuh anaknya
yang kira-kira berumur 5 tahun dia bercerita tentang banyak hal tentang
kehidupannya sebagai seorang pendatang, Akupun mendengarkannya dengan seksama.
“Saya senang ketika bertemu orang Indonesia, sedikit mengobati rindu akan
kampung halaman”. Ucapnya kepadaku. Ibu Dini namanya, awalnya ketika menjadi
imigran ke negara Brunei dia masuk sebagai Tenaga Kerja Indonesia sebagai
pembantu rumah tangga.
Takdir mempertemukannya
kepada sosok pria Brunei yang bernama Pak Aji yang kini menjadi tambatan
hatinya sehingga ia kini telah berubah warga negara menjadi negara Brunei.
Walau sudah bertahun-tahun menetap disini, tetapi ingatannya akan masa kecilnya
di Kemanggisan sebagai orang Betawi tak akan pernah lekang dimakan waktu,
begitu rapih disimpannya dalam sebuah kenangan.
“Masih adakah hasrat
untuk kembali ke kampung halaman bu?” Tanyaku kepadanya.
“Tentunya harapan itu
selalu ada, tetapi kini bersama suami dan anak, saya menjalani hidup yang baru
disini, di rumah saya di daerah Limbang.” Ucapnya. Di dalam hati aku tahu
perasaan rindu rumah itu pasti ada, dan aku tahu sekali bagaimana rasanya homesick rindu akan pulang ke rumah.
Ibu Dini masih menjaga
hubungan baik dengan beberapa sanak keluarganya, sampai-sampai dia memberi
tahukanku nomor teleponnya dan bercerita mengenai tempat sanak keluarganya
tinggal. Selain itu hal yang selalu dilakukan untuk mengurangi rasa rindu anak
rumah dengan menonton acara TV Indonesia. Disini semuanya pakai parabola, jadi
kita bisa tahu berita terbaru dari Indonesia. “Ikut senang disana ada Pak
Jokowi”. Ucapnya. Akupun mengangguk membenarkan ucapannya.
Hampir semua orang
disini nonton acara di TV nya itu dari Indonesia, karena acaranya bagus-bagus.
Kalau acara TV di Brunei itu membosankan, hanya tentang berita dan masjid saja.
Ucapnya.
“Disini tidak boleh ada
karaoke, tidak ada acara musik, tidak boleh ada pub, sampai rokok pun dilarang
dijual bebas. Semua yang ada disini lurus-lurus saja.” Ia kembali curhat
kepadaku.
“Tapi semua orang
disini cinta sama Raja dan Sultan, kalau mengaku orang miskin akan dapat rumah
dan uang dari Sultan. Jadi sebenarnya orang-orang yang tinggal di sungai ini
juga dapat rumah dari Sultan di darat, tapi mereka lebih suka tinggal disini.
Jadinya orang-orang disini banyak yang punya dua rumah di darat dan di sungai.”
Lanjutnya bercerita.
“Orang disini boros,
pas hari raya mereka bisa mengganti perabotan, horden hingga kursi. Mereka juga
membeli hingga 5 pasang pakaian perorangnya khususnya wanita. Yang rumah di
atas sungai ini saja bisa punya 3 kereta parkirnya di darat semua. Tapi saya
mengajarkan suami saya untuk tidak boros dan mencukupi kebutuhan kami dengan
dagang sate di hari jumat dan minggu, karena kalau hari lain dia bekerja di
kantor pos”. Sambil menepuk pundak suaminya dengan penuh kebanggaan.
“Oh gitu, iya bu.”
Ucapku tersenyum mendengar ceritanya.
“Kalau kau mau kesini lagi datanglah dua hari
setelah hari raya, istana dibuka jadi bisa bertemu dengan Sultan. Sultan begitu
dicintai dan dihormati oleh penduduk disini karena adil, hasil kekayaan negeri
dibagi tiga dengan merata untuk kerajaan, Sultan dan rakyat. Untuk murid yang pintar juga bisa di sekolahkan keluar
negeri sampai ke Mesir. Dan Anak-anaknya Sultan juga tidak sombong suka datang
juga ke pasar-pasar tradisional untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya dan
mendengar keluhan kalau ada.”
“Iya bu, semoga lain
kali ada kesempatan untuk kembali kesini pas hari raya.” Jawabku.
Ini catat nomor telepon
saya, nanti jika ada masa lapang datang kesini lagi, saya ajak bersiar-siar
keliling Brunei”. Ucapnya kepadaku.
Dari penjelasannya kini
aku tahu kalau di Brunei itu hari liburnya adalah hari jumat dan minggu
khususnya untuk perkantoran dan sekolahan. Hal inilah yang aku lihat juga
ketika hendak memasuki waktu sholat jumat, tanpa terkecuali semua toko dan
perkantoran tutup hingga jam dua untuk waktu melaksanakan shalat.
Selain ibu Dini, akupun
bertemu dengan beberapa orang yang dulunya Indonesia yang bertahan hidup
disini. Sebagian besar berasal dari daerah perbatasan Kalimantan Barat yang
masuk dengan jalur darat melalui Serawak dan sampai di negara Brunei untuk
mencoba peruntungan. Ada juga kisah ibu Julia yang berasal dari Jawa Timur
sudah lebih dari tujuh tahun tinggal di kota ini dengan pengalaman hidup yang
kurang lebih sama dengan kaum pendatang lainnya.
Ya begitulah gambaran
kecil kehidupan yang terkurung di perbatasan, ketika masyarakat di perbatasan
masih jauh tertinggal kemudian melihat tetangganya berkembang pesat tentunya
ada hasrat untuk mencoba peruntungan di negeri sebelah. Mungkin sebagian dari
mereka sudah lelah menunggu untuk mendapatkan arti kemerdekaan sesungguhnya di tanah
kelahiran mereka, lelah menanti janji pembangunan yang adil dan merata hingga
ke pelosok daerah. Itu sebagian yang kurenungi selama aku berbincang-bincang
dengan mereka kaum pendatang.
Tonton
video kami mengenai pengalaman kami saat tinggal menetap dan berkunjung
ke destinasi wisata Brunei Darussalam di youtube channel kami ini ya.
Apabila
kamu ada rencana liburan ke Brunei Darussalam dan ingin mendapatkan
sensasi menginap dengan suasana yang berbeda dari hotel pada umumnya
saya
sarankan bisa mencari di Airbnb.com dimana kamu bisa menginap di rumah
penduduk
di Brunei Darussalam, apartement, guesthouse atau penginapan lainnya.
Bagi kamu yang belum
mendaftar Airbnb kamu bisa menggunakan kode referral saya di link Airbnb.com ini agar
bisa mendapatkan kredit / voucher hingga 40 USD yang dapat kamu gunakan untuk
memesan penginapan. Tertarik? Yuk Daftar airbnb.com
disini
Follow my instagram @travelographers , Youtube account shu travelographer
twitter account @travelographers
and if you found the post useful or interesting please do share! :)
Apabila bermanfaat dan menginspirasi, mohon di-bookmarks dan di-share ya.
Salam Pejalan.
terima kasih informasi yg sangat menarik
ReplyDelete