Negeri Jiran berkabut. Kabut tebal masih saja menghiasi
dengan penuhnya sejak beberapa hari kemarin, bak segerombolan awan yang terus
menyelimuti suasana pagi ini. Cahaya mentari pagi yang biasanya
terang benderang tidak mampu menembus kabut tebal yang menggantung di angkasa.
Menyelimuti hutan beton pencakar langit yang tumbuh dengan tinggi yang tak
beraturan, menutupi setiap jengkal langit di langit Kuala Lumpur. Dalam sekejap
masa kabut putih tebal tersebut menyebar ke segala penjuru menutup pandang
segala penglihatan. Ketika indera penciumanku kembali menghirup udara pagi ini
sayangnya kabut ini masih sama dengan yang kemarin, kabut asap beracun dari
kebakaran hutan yang kerap dituai setiap tahunnya yang berasal dari negeri
seberang bukan kabut udara pagi yang segar dan banyak mengandung oksigen.
Pagi ini aku memulai hari dengan seperti biasanya. Tepat
pukul 07.30 pagi aku sudah membuka pintu apartement untuk segera pergi ke
tempat proyek ku yang kini di daerah Putrajaya, sebuah wilayah persekutuan yang
menjadi kota pusat pemerintahan negara Malaysia.
“Semoga hari ini kabut asapnya berkurang.” Do’a ku dalam
hati dengan sangat penuh harap seraya melangkahkan kaki keluar apartement.
Langit Kuala Lumpur Dilihat Dari Jendela Apartement |
Sebagai pekerja lapangan yang tinggal nomaden tak terasa
sudah genap satu tahun aku tinggal sebagai imigran di negeri ini, namun baru
kali ini aku mengalami kabut asap yang begitu parah seperti ini dan merasakan
langsung penderitaan yang dihadapi para tetangga dekat. Walaupun menurut indeks
pencemaran udara sudah menunjukan angka di kisaran 160 yang mengindikasikan
udara sudah tercemar dan tergolong tidak sehat namun kehidupan sehari-hari
disini harus tetap berjalan seperti biasanya, hal ini terlihat dari masih
ramainya orang-orang yang menjejali stasiun LRT yang sedang melangkah menuju ke
suatu tempat, entah kemana.
Kabut Asap Menyelimuti Kota Kuala Lumpur, Malaysia |
Kabut Asap Menyelimuti Kota Kuala Lumpur, Malaysia |
Kabut asap yang kian menebal
ini tak hanya berpengaruh pada jarak pandang namun juga berpotensi merusak
kesehatan salah satunya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Untuk sebagian
orang yang peduli dengan kesehatannya mereka akan mengenakan masker sebagai langkah
antisipasi penyakit yang diakibatkan kabut asap dan sebagaian
lainnya seolah tidak mengindahkannya.
Kabut Asap Menyelimuti Pasar Seni, Kuala Lumpur |
Sepanjang perjalanan dengan
LRT dan bus Rapid KL sampai ke kota Putrajaya pun suasananya masih belum
berubah dari hari kemarin. Jalan raya masih tetap ramai disesaki kendaraan
bermotor yang bergerak menuju tujuannya masing-masing. Langit masih muram dan
kelabu diselimuti kabut asap kebakaran hutan di Sumatera, semuram seraut wajah
dibalik jendela kaca mobil yang menatap pagi berkabut dalam balut seribu gundah yang terhias kuyu
pada wajahnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya hanya dia yang tahu. Sama
halnya dengan pertanyaan sampai kapan agenda kiriman kabut asap ini akan
berakhir? Ya hanya Tuhan Indonesia saja yang tahu.
Jembatan Seri Wawasan di Putrajaya Yang Tertutup Kabut Asap |
Jembatan Seri Wawasan di Putrajaya Yang Tertutup Kabut Asap |
Kota Putrajaya Yang Tertutup Kabut Asap |
Kota Putrajaya Yang Diselimuti Kabut Asap, Jarak Pandang Menjadi Kurang Dari 2 Kilometer |
Kota Putrajaya Yang Diselimuti Kabut Asap, Jarak Pandang Menjadi Kurang Dari 2 Kilometer |
Kota Putrajaya Yang Diselimuti Kabut Asap, Jarak Pandang Menjadi Kurang Dari 2 Kilometer |
Di seberang negeri ini,
iya, di negeriku Indonesia, kebakaran hutan dan lahan terus terjadi. Menebar
teror asap beracun ke pelosok negeri, termasuk negeri tetangga. Musim yang
selalu datang setiap tahun, yang senantiasa hadir bak agenda rutin yang telah
dijadwalkan. Seorang kawan yang kini tinggal di Riau yang merupakan salah satu
provinsi dengan sumber titik api terbanyak mengabarkan IPU di tempat tinggalnya
sudah diatas 300 dan tidak layak dihuni oleh mahluk hidup. Mau nafas saja susah!,
ujarnya. Sesaat membaca pesan whatsapp-nya
aku langsung bisa membayangkan betapa buruknya kondisi disana mengingat disini
saja yang IPUnya “hanya” 160 sudah sukses membuat mataku perih dan nafas terasa
panas. Begitu juga halnya dengan keadaan negeri tetangga lainnya Singapura yang
tak luput dalam kabut asap ini yang tercatat dengan indeks IPU diangka 220.
Mendengar sepenggal
cerita dari kawan saya itu langsung membawa diriku kembali dalam ruang
nostalgia ketika melakukan sebuah proyek IT di perusahaan yang bergerak dalam
bidang perkebunan dan pertambangan di beberapa pedalaman hutan Sumatera mulai
dari Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur
serta Kalimantan Selatan mengingat daerah-daerah tersebut tidak pernah absen
disebut dalam media sebagai provinsi yang turut menyumbangkan polusi asap dari
kebakaran hutan yang kerap terjadi.
Dari pengalamanku
selama disana serta dari cerita penduduk setempat yang kerap menceritakan
terjadinya kebakaran hutan aku melihat sebuah fakta menarik bahwa tak sedikit
perusahaan atau perseorangan yang hanya bermodal sepucuk surat izin dari
aparatur penguasa daerah melakukan alih fungsi hutan rimbun dan lahan gambut
menjadi ribuan hektar tanah lapang untuk lahan perkebunan baik kelapa sawit
maupun pohon Eucalyptus dan Acacia sebagai bahan baku pembuatan kertas serta
area pertambangan.
Ketika musim pembukaan
lahan dimulai disaat itulah musim kabut asap datang. Mengapa demikian? Karena
salah satu cara yang paling cepat dan “murah” (dalam sisi biaya) untuk membuka
lahan beribu-ribu hektar adalah dengan cara membakarnya sampai lahan tersebut
menjadi lahan kosong yang siap digarap. Celakanya ketika angin berhembus
kencang serta hujan tidak senantiasa turun sehingga api bisa dengan cepatnya
merambat ke hutan alami dan apapun yang berada di sekitarnya. Penduduk lokal
kerap dijadikan tameng dan senantiasa dituding sebagai biang kerok pembakaran
hutan, padahal pelaku pembakaran lahan dan hutan sebagian besar dilakukan
perusahaan kelas menengah dan kecil, khususnya yang memiliki kedekatan dengan
penguasa setempat. Mereka berdalih manis dan melakukan pembenaran dengan
membuka lahan baru akan tercipta banyak lahan pekerjaan baru untuk masyarakat
setempat. Untuk perusahaan besar karena mereka memiliki standar keselamatan dan
prosedur management yang mengikuti standar ISO bisa dibilang sedikit yang
melakukan pembakaran hutan, tapi untuk oknum tentu saja ada dengan perkiraan
hasil survey 40 persen penyebab kebarakan hutan adalah perusahaan besar dan
menengah serta 60 persen adalah perusahaan kecil dan perseorangan.
Jika kita renungkan
pembakaran lahan hutan tidak hanya berdampak pada manusia yang tinggal di sekitarnya
namun juga pada mahluk hidup serta spesies langka yang tinggal dalam hutan
tersebut pun sengsara. Tidak sedikit binatang yang meregang nyawa karena
terpanggang bara api yang dibawa oleh tiupan kencang dan membumi hanguskan alam
di sekitarnya.
Apakah mereka (oknum)
itu peduli? Rasanya tidak. Punya otak untuk berpikir panjangpun rasanya juga
tidak karena golongan orang tersebut otaknya berada diperut saja, asal perut
kenyang. Mereka tidak akan peduli kalau suatu saat anak cucu kita hanya bisa
melihat indahnya hutan yang hijau dan keanera ragam flora dan fauna hanya dalam
sebuah gambar kenangan dan dalam sebuah daftar mahluk hidup yang telah punah.
Aku pernah bermimpi dengan begitu indahnya negeri kita yang kaya akan keragaman
flora dan faunanya mengapa tidak dibangun saja infrastruktur yang memadai
sehingga bisa menjadi salah satu Eco wisata yang ramah lingkungan dan membuka
lapangan pekerjaan yang langsung dapat dirasakan masyarakat setempat. Yang
terjadi saat ini menjadi bukti bahwa ketika uang berbicara, uang kini menjadi
Tuhan dan konservasi alam adalah hambanya
Harus aku akui selama
tinggal di area pedalaman di Sumatera dan Kalimantan membuatku mencoba berpikir secara
rasional dan seimbang dari dua sisi. Dari satu sisi keberadaan perusahaan besar
yang mengelola perkebunan dan hutan produksi serta tambang ini telah menghidupi
puluhan ribu orang dengan memberikan lahan pekerjaan bagi semua orang khususnya
masyarakat setempat. Tak hanya karyawan, masyarakat sekelilingpun mendapatkan
rezekinya dengan usahanya mendukung roda perekonomian yang berputar didaerah
terpencil ini. Mulai dari toko kelontong, warung makan, dan berbagai toko kecil
lainnya.
Dari satu sisi lain memang tentunya sebagian besar lahan
yang dulunya hutan alami kini telah berubah menjadi hutan produksi, lahan
perkebunan kelapa sawit yang dapat merusak struktur dan kesuburan tanah bahkan
lebih parah lagi di eksploitasi tambang secara berlebihan tanpa mengindahkan
analisis dampak lingkungan yang ditimbulkan. Jika kita mencoba fair, kitapun sebagai konsumen yang
menggunakan bahan-bahan kertas atau minyak goreng turut bertanggung jawab
untuk ekploitasi hutan alami menjadi area perkebunan. Karena bagaimanapun juga
perusahaan-perusahaan besar itu ada dan berkembang karena besarnya
kebutuhan akan barang tersebut. Kembali lagi kepada kita yang peduli terhadap
lingkungan untuk turut serta mengontrol aktivitas yang berpotensi merusak
lingkungan dan tentunya peranan penting pemerintah dalam mengimplementasikan
hukum dan aturan yang memihak kelestarian lingkungan yang selaras dengan
jalannya roda perekonomian.
Rasanya pekerjaan rumah terbesar pemerintah yaitu menindak
tegas pembalakan liar dan membatasi area yang diperbolehkan untuk dieksploitasi
menjadi area perkebunan dan pertambangan. Tidak seperti sekarang yang tak
terkontrol selama ada uang perizinan, lahan hutan alamipun dapat dibabat habis.
Pemerintah dalam hal ini PPNS Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama
kepolisian harus segera menggugat dan menindak perusahaan maupun perseorangan
yang melakukan pembakaran hutan sehingga menyebabkan bencana kabut asap yang
menyengsarakan banyak orang. Tidak hanya sanksi hukuman penjara namun harus
tegas juga untuk berani diberikan sanksi pencabutan izin usaha bagi orang
tersebut. Khusus untuk lahan perseorangan harus ada pendekatan yang berbeda
yaitu untuk “menyadarkan” mereka dengan penyuluhan dan pendidikan tentang efek
buruk membakar lahan. Namun yang terpenting juga memberikan solusi bagaimana
teknik membuka lahan yang cepat dengan biaya yang lebih efesien, dengan solusi
menggunakan mesin dan teknologi yang tinggi misalnya.
“Disaat pohon terakhir
ditebang, disaat ikan terakhir ditangkap, disaat sungai terakhir telah teracuni,
disaat udara terakhir telah tercemar, mungkin disaat itulah manusia baru bisa
menyadari sepenuhnya kalau kita tidak bisa hidup dan makan uang.”
Telah Terbit Buku Karya Saya Yang Berjudul Overland, Dari Negeri Singa ke Daratan Cina. |
Telah terbit buku karya saya yang berjudul Overland, Dari Negeri Singa ke Daratan Cina. Penasaran bagaimana Trilogy buku ini? Baca Sinopsis lengkapnya disini : Buku Trilogy Overland - Dari Negeri Singa ke Daratan Cina. Sebuah memoar perjalanan jalur darat melintasi perbatasan 13 negara Asia Tenggara dan Daratan Cina.
Untuk teman-teman yang mau order atau tanya informasi detailnya boleh direct whatsapp ya +6287887874709. Bisa juga DM Instagram @travelographers, beli di website Leutikaprio atau di link marketplace ini ya.
* Tokopedia
* Shopee
* Bukalapak
Follow my instagram @travelographers , twitter account @travelographers
and google plus account +shuTravelographer
and if you found the post useful or interesting please do share! :)
kebakaran hutan di indonesia memang udah cukup mengkhawatirkan asapnya... sampe nyebar ke malaysia sama singapur. parah
ReplyDeleteiya parah banget ya karena setiap tahun seperti jadi agenda rutin yang terus terjadi. selain menganggu kesehatan dan aktivitas sehari-hari juga mengancam keberlangsungan mahluk hidup yang tinggal disekitarnya :(
DeleteParah banget, demi kepentingan beberapa orang. Imbasnya kesemuanya
Deleteiya hampir setiap tahun ada kabut asap. namun alhamduillah tahun ini tidak ada karena pemerintah indonesia saat ini begitu serius untuk mencegah dan menindak para pembalak liar.
Deletewah! asapnya sampe negeri jiran juga ya :( lumayan pekat itu!
ReplyDeleteiya ini sempat pekat banget mas dan jarak pandang pun terganggu.
Deleteasap tahun ini memang sangat parah. sampai hitungan bulan blom reda juga kebakarannya. banyak oknum2 nakal yang bermain disini.
ReplyDeleteiya begitu banget. banyak oknum nakal yang bebas membakar hutan untuk buka lahan tiap tahunnya karena hukumannya terlalu ringan jadi mereka terus melakukan berulang-ulang setiap tahunnya. :(
Deleteorang malay bakal protes deh.
ReplyDeleteiya tentunya. jangankan tetangga penduduk setempat aja protes karena memang luar biasa kabut asap kebarakan hutan tahun ini.
DeletemasyaAlloh , sampe ga kelihatam indahnya negeri itu ..
ReplyDeleteiya ketutup kabut asap nih kak smapai awal november kemarin.
DeleteSedih juga asap kita diekspor hingga ke negeri tetangga ya, tahun depan tak boleh terulang lagi. Saatnya membantu pemerintah kembali membirukan langit Indonesia..
ReplyDeleteiya amiiinn.. pemerintah dan penduduk setempat harus bekerja sama untuk meminimalisir dampak kebakaran hutan dan menindak tegas pelaku pembakar hutan untuk membuka lahan baru.
Delete