Pages

Thursday, November 7, 2013

Perjalanan dari Kota Jambi Menuju Hutan Sungai Tapa


Hutan Eucaplyptus Cassicarva, Provinsi Jambi - Sumatera
      Pesawatku mendarat sempurna di Bandara Sultan Thaha Jambi, tempat yang belum pernah ku singgahi sebelumnya. Roda pesawat sempat berdecit begitu menyentuh landasan.
      “Biasa memang begini kalau di Jambi, karena landasan pacunya pendek” Ujar temanku yang duduk disebelah.
      “Oh gitu ya” jawabku singkat.
      Hari ini merupakan hari pertamaku untuk masuk ke salah satu area hutan di Jambi, sesaat keluar dari bandara menuju pusat kota Jambi disambut oleh gapura selamat datang dengan atap menonjol seperti tanduk kerbau salah satu ciri khas rumah-rumah tradisional Provinsi Jambi.  Langit Jambi Pagi itu begitu cerah, gumpalan awan cumulus nimbus yang menggantung diangkasa mewarnai langit dengan indahnya.

    Ketika memasuki pusat kota mataku tertuju pada sebuah bangunan yang memiliki banyak pilar yang berdiri kokoh, bangunan tersebut bernama Masjid Agung Al-Falah yang dikenal sebagai masjid 1000 tiang. Masjid ini merupakan masjid terbesar di provinsi Jambi yang merupakan salah satu lansekap kota ini.


Bandara Sultan Thaha, Provinsi Jambi
Gerbang Selamat Datang di Kota Jambi
Suasana Kota Jambi

         Mobil yang kami tumpangi mulai beranjak menjauhi pusat kota, kami mulai menyusuri jalan tepat dipinggir sungai yang berwarna kecoklatan yang kemudian kuketahui sungai tersebut adalah sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jambi yang dikenal dengan nama sungai Batanghari. Panjangnya mencapai 1740 km.  Kami melintasi sebuah jembatan dari rangkaian besi yang berdiri melintasi sungai yang memiliki lebar sungai antara 200 hingga 650 meter.
Jembatan Besi yang Melewati Sungai Batang Hari di Jambi

       Jarak antar satu rumah dengan rumah lain mulai berjauhan hingga ketika masuk kedalam jalur lintas Sumatera pemandangan dari kedua sisi mulai berubah didominasi oleh perkebunan kelapa sawit yang menghampar luas sepanjang mata memandang. Sering kali mobil kami berpapasan dengan truk yang membawa hasil kelapa sawit yang mengunung didalamnya. Buahnya merah kecoklatan yang menandakan buah kelapa sawit tersebut sudah siap untuk diproses menjadi minyak goreng.
Perkebunan Kelapa Sawit di Kedua Sisi
     Dari informasi Bang Ucok supir yang membawa kami, sebagian kecil perkebunan tersebut dimiliki oleh penduduk setempat namun sebagian besar lainnya telah dikuasai oleh perusahaan besar yang telah mengekploitasi provinsi ini.

       Semakin kedaerah pedalaman, pemandangan sekeliling mulai berubah menjadi hutan. Sayangnya hutan yang kulihat dikedua sisi jalan bukanlah hutan alami yang menyimpan beraneka ragam kekayaan hayati sebagai tempat hidup ribuan jenis organisme didalamnya melainkan hamparan hutan produksi yang menghampar luas. Hutan ini merupakan salah satu tempat produksi pohon yang kayunya digunakan sebagai bahan utama pembuatan kertas disalah satu parbik besar disini.
Ketika Mogok Ditengah hutan, Setiap Orang Yang Berpapasan Akan Berusaha Untuk Saling Membantu
 Aku tertegun dan menghela nafas ketika kami melewati daerah yang sebagian besar lahannya telah dipanen kayunya sehingga pemandangan yang terlihat tak lagi hijau melainkan tanah dengan potongan kayu yang menghampar dimana-mana. Semua terlihat tampak rusak karena pembalakan pada proses panen kayu tersebut. Tampak beberapa alat berat yang mengangkat kayu-kayu tersebut untuk dimasukan dalam truk-truk besar untuk diangkut kesebuah parbik pengolahan kertas diprovinsi ini.

Truk-Truk Besar Yang Membawa Potongan Kayu Sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Kertas

Truk-Truk Besar Siap Mengantarkan Kayu Hasil Panen Ke Pabrik Kertas
 “Kondisi ini hanya sekitar 2 bulan saja, nanti setelah dibersihkan terus ditanam lagi hutan ini akan kembali hijau”. Perusahaan sudah memiliki bibit unggul sehingga pohon-pohon yang kita tanam akan cepat tumbuh tinggi dan bisa dipanen kembali dalam waktu sekitar 2 tahunan.” Ucap salah seorang orang lokal yang bekerja diperusahaan pengelola hutan produksi ini.

“Tapi terkadang ada saja aktifis yang mencoba mencari kesalahan perusahaan untuk mencari keuntungan pribadi dalam hal ini kebutuhan dana CSR ataupun kompensasi ke masyarakat maupun organisasinya, padahal tidak lama setelah ditebang ga lama lagi juga hijau. Selama perusahaan tidak melanggar hukum seharusnya tidak dipermasalahkan” Lanjutnya membela diri. Dan akupun hanya bisa menganggukan kepala seolah-olah mengiyakan ucapannya.

Beberapa Pekerja Dari Penduduk Lokal Yang Merawat Hutan Produksi


Aku tiba disebuah pabrik pengolahan kayu produksi yang sudah dipanen yang akan diproses menjadi bahan baku pembuatan kertas yang dapat diproses menjadi berbagai produk akhir mulai dari kertas buku, kertas untuk printing, tisu dan berbagai produk lainnya. Pabriknya sungguh besar, tempak ribuan karyawan dari berbagai kota di Sumatera termasuk orang lokal Jambi bergantung hidup ditempat ini. Bahkan sebagian besar dari mereka malah sudah menetap bertahun-tahun disini dan memulai hidup baru didaerah terpencil ini.

Bau kimia yang menyerbak sekeliling area pabrik cukup menyengat, bahan itu digunakan sebagai salah satu bahan baku untuk mengolah kayu tersebut. Aku tak tahu bagaimana limbah ini diolah sebelum akhirnya dibuang kelingkungan sekitar. Yang ada didalam harapanku semoga saja mereka mengolahnya dengan benar dengan memperhatikan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan.

Diwaktu yang berbeda akupun pernah diantar kesebuah area pembibitan. Tempat dimana bibit-bibit pohon baru dikembangkan untuk ditanam ke lahan-lahan yang telah siap untuk ditanam kembali. Semua tampak indah jika melihat jutaan bibit pohon tersebut telah tumbuh besar dan siap ditanam untuk kembali menghijaukan daerah yang tampak rusak setelah dipanen. Bumi akan kembali hijau menutupi lahan-lahan coklat dengan ampas kayu yang berserakan.
Area Nursery, Pusat Penamanam Bibit Untuk Hutan Produksi
Area Nursery, Pusat Penamanam Bibit Untuk Hutan Produksi

Namun dari satu sisi tak jauh dari pusat pembibitan tersebut terdapat sebuah area konservasi hewan yang dipelihara disini. Mereka menyebutkan konservasi karena beranggapan turut memelihara hewan-hewan hutan yang termasuk dilindungi oleh pemerintah dan dunia. Namun yang kulihat yang ada bukanlah area konservasi, malah lebih cocok sebagai area kerangkeng hewan-hewan dalam kandang yang sempit yang telah ditangkap oleh manusia ketika membuka lahan yang merubah hutan alami menjadi hutan produksi. Beberapa beruang madu terkurung dalam kandang yang sempit, beberapa gajah terkekang rantai yang melilit kedua kakinya dan beberapa burung akan ditakdirkan menghabiskan sisa hidupnya dalam sangkar besi.


Kondisi Kandang Konservasi Untuk Binatang Yang telah di"selamat" kan
Kedua kaki gajah dikekang dengan rantai besar, Gadingnya telah dipotong oleh oknum.

Dari cerita yang kudapatkan, binatang tersebut ditangkap dan dimasukan dalam area “konservasi” agar tidak membahayakan manusia. Padahal jika kita renungi merekalah yang memiliki “rumah” tersebut sebagai “penduduk” asli yang telah lama menempati hutan tersebut sebelum kedatangan manusia menjarah hutan meraka. Aku membayangkan betapa indahnya jika manusia dan mahluk hidup lainnya dapat hidup selaras dan berdampingan dengan harmonis.


 Kandangnya Sempit Mengekang Kebebasan

Beberapa minggu tinggal diarea hutan ini dan melihat lebih dekat kehidupan ditempat terpencil ini membuatku berpikir secara rasional dan seimbang dari dua sisi. Dari satu sisi keberadaan perusahaan besar yang mengelola hutan produksi ini telah menghidupi puluhan ribu orang dengan memberikan lahan pekerjaan bagi semua orang khususnya masyarakat setempat. Tak hanya karyawan, masyarakat sekelilingpun mendapatkan rezekinya dengan usahanya mendukung roda perekonomian yang berputar didaerah terpencil ini. Mulai dari toko kelontong, warung makan, dan berbagai toko kecil lainnya.

Dari satu sisi memang tentunya sebagian besar lahan yang dulunya hutan alami kini telah berubah menjadi hutan produksi bahkan lebih parah lagi berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang dapat merusak struktur dan kesuburan tanah.

Hamparan Hutan Produksi di Provinsi Jambi
 Jika kita mencoba fair, kitapun sebagai konsumen yang menggunakan bahan-bahan kertas atau minyak goreng turut bertanggung jawab  untuk ekploitasi hutan alami menjadi area perkebunan. Karena bagaimanapun juga perusahaan-perusahaan besar itu ada dan berkembang  karena besarnya kebutuhan akan barang tersebut.

Rasanya semua kembali lagi kepada kita yang peduli terhadap lingkungan untuk turut serta mengontrol aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan dan tentunya peranan penting pemerintah dalam mengimplementasikan hukum dan aturan yang memihak kelestarian lingkungan yang selaras dengan jalannya roda perekonomian. 

Rasanya pekerjaan rumah terbesar pemerintah yaitu menindak tegas pembalakan liar dan membatasi area yang diperbolehkan untuk diekploitasi menjadi area perkebunan. Tidak seperti sekarang yang tak terkontrol selama ada uang perizinan, lahan hutan alamipun dapat dibabat habis. Semoga saja anak cucu kita kelak masih dapat melihat apa itu hutan yang alami dan ada organisme apa saja yang hidup didalamnya. Ya semoga saja penerus kita masih dapat melihat keindahan bumi pertiwi dengan kedua pasang mata mereka sendiri ditempat aslinya tidak dari foto kenangan betapa indahnya negeri Indonesia karena sudah musnah atau punah.




Follow my instagram & twitter account : @travelographers


Baca artikel lain terkait mengenai Provinsi Jambi:



4 comments:

  1. wahh abgus sekali suasana jambi
    nice post salam persahabatan kunjungi balik blog kami :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama. iya kalau ga di ekploitasi berlebihan jambi akan tetap bagus
      salam persahabatan.

      Regards

      Delete
  2. wow jambi...tanah kelahiran. terima kasih sudah meliput

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama imadara. semoga bermanfaat dan menginspirasi.
      terima kasih sudah berkunjung ke blog kami :)

      Delete