Pages

Tuesday, December 25, 2012

Keindahan Pulau Sempu, Cagar tanpa “Pagar”



Fren! weekend ini kita ke Malang yuk, gw mau dateng ke Pulau Sempu nih.. bagus tempatnya masih alami “Ucap ku sambil menunjukan layar google images dengan search word Pulau Sempu” . Itu sepenggal kata-kata yang aku ucapkan beberapa tahun lalu ketika tinggal di kota pahlawan untuk suatu project. Aku mengajak rekan kerjaku untuk menemaniku berakhir pekan ke kota Malang. Selain berwisata kuliner, tentu saja mengunjungi Pulau Sempu.
Mereka sempat tertegun dan membisu karena belum pernah dengar nama tempat itu.. Ya, pada saat itu pulau ini belum sepopuler sekarang karena umumnya orang-orang yang datang ketempat ini lebih didominasi untuk berkunjung ke Pantai Sendang biru yang merupakan lokasi untuk menyebrang ke Pulau Sempu.
Bertubi-tubi pertanyaan yang mereka layangkan mengenai tempat ini, jujur saja aku pun masih buta dengan kondisi dipulau ini karena masih minimnya informasi yang didapat diperoleh dari internet. Nama pulau inipun aku peroleh dari rekomendasi beberapa temanku yang pernah kesana. Agak sulit untuk menyakinkan mereka untuk berpetualang dengan mengikuti caraku menjadi independent traveler mengatur perjalanan sendiri, penginapan begitujuga dengan transportasinya ngeteng bus dan ngangkot.

3 jam perjalanan yang kami lalui dari kota Surabaya, tibalah kami di kota Apel yaitu kota Malang. Dari informasi yang kuperoleh, untuk mencapai Pantai Sendang Biru dari Alun-alun kota Malang dengan cara ngecer angkot harus tiga kali pindah angkutan umum. Dari alun-alun kota dengan  Angkot AG saat itu biayanya 2500 rupiah yang mengantarkan kami sampai terminal Gadang. Selanjutnya kami berpindah dengan bus yang memiliki tujuan ke pasar Turen dengan ongkos sejumlah 4000 rupiah ditambah retribusi masuk terminal 200 rupiah perorang.
Setibanya di Pasar Turen saya berempat dengan teman saya langsung naik ke angkot dengan tujuan ke Sendang Biru. Suasana didalam angkot tampak sepi hanya seorang ibu-ibu duduk dikursi depan dengan tas belanjaannya yang diletakan didekat kakinya, sedangkan supirnya masih sibuk diluar mencari calon penumpang yang hendak ke arah Sendang Biru.
Untuk kedua angkutan sebelumnya relatif mudah dengan interval keberangkatan yang tidak terlalu lama. Tantangan yang paling berat adalah ketika melanjutkan ke Sendang Biru dengan angkot kecil ini yang biasanya hanya memiliki dua baris tempat duduk untuk penumpang yang saling berhadapan, tetapi angkot ini dimodifikasi menjadi empat baris tempat duduk yang mengarah kedepan. Angkot ini adalah satu-satunya transportasi umum kesana dengan ongkos 12,000 yang tentunya tak ada pilihan lain bagi kami untuk mencapai Sendang Biru.
Huuuft! sudah lebih dari setengah jam angkot ini masih mengetem di Pasar Turen karena belum terisi penuh oleh penumpang sehingga belum juga beranjak dari tempat ini. Cuaca diluar semakin terik membuat kami didalam angkot ini serasa berada didalam sebuah oven yang tengah memanggang zupa soup dan keringat kami sebagai kuahnya. Huuekks!. Walau beberapa jendelanya kami buka semua, udaranya masih terasa begitu pengap seakan tak ada yang menyelinap dari kisi jendela yang telah kami buka lebar.
Melihat hiruk-pikuk kondisi dilingkungan pasar mungkin menjadi satu-satunya hiburan kami. Melihat mereka berinteraksi satu sama lain membuat aku merasakan adanya kedekatan emosional antara pembeli dan penjual. Hal inilah yang mulai jarang ditemui di kota-kota besar seiring berubahnya gaya hidup orang kota yang dengan bangga diinvansi oleh minimarket serta supermarket besar yang membuat interaksi seperti ini semakin jarang ditemui. Peran pasar tidak hanya sebagai tempat jual beli, disini tempat mereka bersilahturahmi, bergaul serta berinteraksi dengan sesama.
Honestly pada saat itu aku merasa tidak enak kepada teman-temanku yang ku ajak dalam perjalanan ini dikarenakan kondisi angkot yang seperti ini. Ya terkadang dalam suatu perjalanan tak semuanya berjalan sesuai dengan harapan. Suatu tantangan tersendiri melakukan perjalanan ke Pulau Sempu dengan mengecer angkutan umum. “Untuk menuju Surga tersembunyi memang biasanya susah untuk mencapainya, butuh usaha dan perjuangan”. Ucapku untuk menghibur diri dan menghibur teman-teman ku dengan senyum getir. Tak lama berselang tampak senyum sumringah yang terpancar dari wajah teman-teman ku ketika angkot sudah mulai dipadati penumpang yang satu persatu datang mengisi kekosongan.
Pak kapan jalannya angkot ini, sudah penuh nih pak!.. “ucap salah satu temanku yang tampak mulai tidak sabar”. Aku memaklumi  kondisinya karena memang sudah tidak nyaman didalam angkot ini. Hampir satu jam kami berada didalam angkot yang mulai dijejali dengan berbagai barang belanjaan dan orang. Belum lagi dikarenakan kursi penumpangaya dimodifikasi menjadi begitu sempit, jarak antar kaki dan punggung penumpang didepan sungguh pendek yang membuat kakiku terasa keram karena harus ditekuk.
Angkot yang ukuran normalnya memiliki kapastitas 10 orang dengan posisi 6 dikanan 4 dikiri pada bagian belakang kini disulap menjadi 16 orang dibelakang dengan masing-masing 4 orang pada setiap barisnya.. Hell Yeaaah! Belum lagi ditambah beberapa ekor ayam dan bebek yang diletakan tepat didepan kami.. Kepalanya muncul dari sela-sela keranjang ayam jinjing yang baru dibawa dari pasar.

 Kondisi didalam angkot yang sangat absurd!
 
Semuanya semakin absurd ketika ada tambahan seorang kenek yang naik diatap angkot untuk menjaga barang-barang yang diletakan diatas tidak jatuh.. Edan!!. Hahaha.. tapi semua ini sungguh menjadi pengalaman yang unik bagi kami, khususnya teman-teman saya yang baru pertama kali mencoba dengan gaya perjalananku yang independent seperti ini.
Angin surgaaa!!, hembusan angin menyelinap masuk melalui jendela angkot yang telah terbuka lebar. Kondisinya menjadi lebih baik ketika angkot ini mulai melaju ke Sendang Biru. Tantangan berikutnya adalah ketika angkot yang kami tumpangi ini tidak langsung menuju Sendang Biru dimana tempat ini merupakan tujuan terakhir untuk dikunjungi. Jika diibaratkan dalam sebuah jalur kendaraan normal dapat ditempuh jalur yang relatif lurus, tetapi karena naik angkot jadinya bentuk jalurnya berliku-liku seperti usus, dikarenakan angkotnya keluar masuk kampung untuk mengantar penumpangnya sampai depan rumah, keren kan!
Semua keluh kesah dan penat dalam angkot tersebut seketika terbayarkan saat menghirup bau laut. Pantai yang dipadati perahu nelayan yang bersender disepanjang tepi berjejer dengan rapih. Ah sudah tidak sabar rasanya untuk menyebrang ke Pulau Sempu dan melihat sendiri keindahan danau ditengah pulau.
 Sebelum masuk ke Pulau Sempu yang merupakan kawasan cagar alam, kami melapor terlebih dahulu ke Departemen Kehutanan Resort Konservasi Pulau Sempu. Disini kamipun berbincang-bincang mengenai cuaca serta kondisi track untuk menuju danau serta kondisi di area cagar alam yang mencakup peraturan yang harus kami taati. Karena aku teringat foto-foto temanku saat mengunjungi tempat ini ketika musim hujan, kondisi track nya menjadi medan yang sangat berat yaitu berlumpur dan licin. Jika memang demikian akupun tak akan memaksakan diri untuk masuk, apalagi dengan kondisi teman perjalananku yang aku ajak belum berpengalaman dalam hal tersebut.
Disinilah yang seharusnya dipersiapkan oleh pengunjung yang hendak masuk ke Pulau Sempu, yaitu mempersiapkan dengan matang serta tahu kondisi dilapangan. Selain itu dari sisi pengelola sebagai kawasan cagar alam seharusnya tempat ini memiliki “pagar” yaitu dibatasi jumlah orang yang berkunjung khususnya yang menginap ketempat ini mengingat kawasan ini merupakan Cagar Alam tempat konservasi beberapa binatang serta untuk keperluan penelitian dan ilmu pengetahuan. 
Selain itu untuk setiap orang yang datang cagar ini seharusnya pengelola mencatat apa saja yang dibawa sehingga pada saat kembalipun harus lapor dengan membawa sampahnya agar tidak ditinggal dipulau yang mengakibatkan kondisinya menjadi kotor. Karena yang kami alami setiap pengunjung hanya perlu lapor pada saat mengurus perizinan untuk masuk tanpa dicek perlengkapan atau logitsik yang kami bawa.
Awalnya Ingin sekali rasanya untuk menginap mendirikan tenda dipinggir danau ditengah pulau ini, tetapi untuk menghormati tempat ini yang telah ditetapkan sebagai Cagar Alam, kamipun memutuskan untuk tidak bermalam ditempat ini agar tidak mengganggu kelangsungan hidup alam yang dilindungi di cagar ini. Selepas menikmati keindahan danau segara anak kami akan kembali ke Sendang Biru kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Malang.
Setelah perizinan untuk masuk ke kawasan Pulau Sempu telah kami dapatkan, kami segera bergegas ke Pantai Sendang Biru untuk menyebrang ke Pulau Sempu menggunakan perahu nelayan yang menawarkan jasa penyebrangan dengan ongkos antar jemput kurang lebih 100,000 per rombongan sekali jalan tergantung dari negosiasi awal.

Pantai Sendang Biru, akses menuju pulau sempu
 Memasuki kawasan cagar alam ini suasananya masih tampak alami dengan pepohonan yang rindang serta tanaman bakau yang tumbuh ditepi pulau. Jika beruntung anda dapat berjumpa dengan beberapa binatang liar yang hidup di kawasan ini diantaranya Babi hutan, Biawak, Kera hitam, Belibis dan burung Rangkong. Kami bersyukur dalam perjalanan kali ini jalur yang ditapak relatif kering sehingga memudahkan kami untuk menjelajah pulau ini hingga danau segara anakan.  


 Pemandangan yang eksotis di pulau sempu, Hidden Paradise on Earth!
 Dalam jalur kering seperti ini kami dapat mencapai danau kurang lebih 80 menit dengan kecepatan jalan yang santai. Tetapi pengalaman temanku saat musim hujan karena kondisi berlumpur mereka membutuhkan ekstra waktu dan tenaga yaitu lebih dari 4 jam sekali jalan untuk mencapai danau!. Oleh karena itu disarankan bagi kamu untuk mempersiapkan segala sesuatunya sebelum masuk ke Cagar Alam ini khususnya P3K mengingat kawasan ini merupakan cagar alam salah satunya cagar untuk konservasi ular. Selain itu bisa dikatakan didalam pulau ini tidak ada sumber air bersih oleh karena itu persiapkan air minum yang cukup untuk kebutuhan kamu.
Setiap jejak langkah dan tetes keringat yang mengucur untuk ke Pulau Sempu terbayar sudah ketika telah mencapai danau Segara Anak dan merasakan keindahannya. Ditambah lagi dapat menatap hamparan samudera dari bibir tebing Pulau Sempu tentunya menjadi pengalaman berkesan bagi kami.
Yang kami lakukan disini yaitu hanya duduk santai sembari mengagumi keindahannya. Yang kami ambil dari tempat ini hanya foto dan kenangan. Yang kami tinggal ditempat ini hanyalah jejak kaki yang terbentuk dalam setiap langkah kami. Dan tentunya karena kami tidak menginap di Pulau ini kami mendukung kelestarian ekosistem serta tidak menggangu kelangsungan hidup flora dan fauna dengan aktifitas yang dapat menggangu ketenangan dan keheningan malam. Selain itu dengan tidak meninggalkan sampah tentunya dapat menjaga kelangsungan hidup flora dan fauna pada cagar alam Pulau Sempu. Living harmony with nature.

Follow me on twitter : @travelographers

6 comments:

  1. terakhir saya kesana, sempu sudah mulai banyak sampah dan ranting2 banyak patah.. semoga ada regulasi yang lebih tegas untuk mengatur pejalan agar lebih bertanggungjawab.

    ReplyDelete
    Replies
    1. :(, iya semoga semua semakin sadar klo bukan kita yang menjaganya.. terus siapa lagi. kasihan annti anak cucu kita klo tempat" yang dulu kita kunjungi sudah rusak atau ga indah lagi. :)

      Delete
  2. seru kalo bisa camping di sempu tp tetep jaga lingkungan

    ReplyDelete
    Replies
    1. yup bener banget mi, harusnya setiap yg camping bawa kantong kresek utk bawa pulang sampahnya juga.. ga dibakar atau ditimbun ditanah. nah itu jadi syarat saat lampor balik ke pengelola utk bukti klo tetap respect dan menjaga kelestarian cagar alam. hehe..
      atau supaya ada efek jera, bisa dikasih peraturan yang ga bawa sampahnya balik dikenakan denda dengan jumlah nominal tertentu :) CMIIW

      Delete
  3. Mantabs. Artikel yang menarik. Pantai sendang biru dengan pulau sempunya yang indah nan menawan. Salam kenal dari Rental Mobil Malang, http://rentalsewamobilmalangbatu.com/, Simpati 082141 555 123

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih rental mobil malang. laris terus ya lapaknya

      Delete