Fren! weekend ini kita ke Malang yuk, gw mau
dateng ke Pulau Sempu nih.. bagus tempatnya
masih alami “Ucap ku sambil menunjukan layar google images dengan search
word Pulau Sempu” . Itu sepenggal kata-kata yang aku ucapkan beberapa tahun
lalu ketika tinggal di kota pahlawan untuk suatu project. Aku mengajak
rekan kerjaku untuk menemaniku berakhir pekan ke kota Malang. Selain berwisata
kuliner, tentu saja mengunjungi Pulau Sempu.
Mereka sempat
tertegun dan membisu karena belum pernah dengar nama tempat itu.. Ya, pada saat
itu pulau ini belum sepopuler sekarang karena umumnya orang-orang yang datang
ketempat ini lebih didominasi untuk berkunjung ke Pantai Sendang biru yang
merupakan lokasi untuk menyebrang ke Pulau Sempu.
Bertubi-tubi
pertanyaan yang mereka layangkan mengenai tempat ini, jujur saja aku pun masih
buta dengan kondisi dipulau ini karena masih minimnya informasi yang didapat
diperoleh dari internet. Nama pulau inipun aku peroleh dari rekomendasi beberapa
temanku yang pernah kesana. Agak sulit untuk menyakinkan mereka untuk
berpetualang dengan mengikuti caraku menjadi independent traveler mengatur perjalanan sendiri, penginapan
begitujuga dengan transportasinya ngeteng
bus dan ngangkot.
3 jam
perjalanan yang kami lalui dari kota Surabaya, tibalah kami di kota Apel yaitu
kota Malang. Dari informasi yang kuperoleh, untuk mencapai Pantai Sendang Biru
dari Alun-alun kota Malang dengan cara ngecer angkot harus tiga kali pindah
angkutan umum. Dari alun-alun kota dengan
Angkot AG saat itu biayanya 2500 rupiah yang mengantarkan kami sampai
terminal Gadang. Selanjutnya kami berpindah dengan bus yang memiliki tujuan ke
pasar Turen dengan ongkos sejumlah 4000 rupiah ditambah retribusi masuk
terminal 200 rupiah perorang.
Setibanya di
Pasar Turen saya berempat dengan teman saya langsung naik ke angkot dengan
tujuan ke Sendang Biru. Suasana didalam angkot tampak sepi hanya seorang
ibu-ibu duduk dikursi depan dengan tas belanjaannya yang diletakan didekat
kakinya, sedangkan supirnya masih sibuk diluar mencari calon penumpang yang
hendak ke arah Sendang Biru.
Untuk kedua
angkutan sebelumnya relatif mudah dengan interval keberangkatan yang tidak
terlalu lama. Tantangan yang paling berat adalah ketika melanjutkan ke Sendang
Biru dengan angkot kecil ini yang biasanya hanya memiliki dua baris tempat
duduk untuk penumpang yang saling berhadapan, tetapi angkot ini dimodifikasi
menjadi empat baris tempat duduk yang mengarah kedepan. Angkot ini adalah
satu-satunya transportasi umum kesana dengan ongkos 12,000 yang tentunya tak
ada pilihan lain bagi kami untuk mencapai Sendang Biru.
Huuuft! sudah lebih dari setengah jam
angkot ini masih mengetem di Pasar Turen karena belum terisi penuh oleh
penumpang sehingga belum juga beranjak dari tempat ini. Cuaca diluar semakin
terik membuat kami didalam angkot ini serasa berada didalam sebuah oven yang
tengah memanggang zupa soup dan
keringat kami sebagai kuahnya. Huuekks!.
Walau beberapa jendelanya kami buka semua, udaranya masih terasa begitu pengap
seakan tak ada yang menyelinap dari kisi jendela yang telah kami buka lebar.
Melihat hiruk-pikuk
kondisi dilingkungan pasar mungkin menjadi satu-satunya hiburan kami. Melihat
mereka berinteraksi satu sama lain membuat aku merasakan adanya kedekatan
emosional antara pembeli dan penjual. Hal inilah yang mulai jarang ditemui di
kota-kota besar seiring berubahnya gaya hidup orang kota yang dengan bangga diinvansi
oleh minimarket serta supermarket besar yang membuat interaksi seperti ini
semakin jarang ditemui. Peran pasar tidak hanya sebagai tempat jual beli,
disini tempat mereka bersilahturahmi, bergaul serta berinteraksi dengan sesama.
Honestly pada saat itu aku merasa tidak
enak kepada teman-temanku yang ku ajak dalam perjalanan ini dikarenakan kondisi
angkot yang seperti ini. Ya terkadang dalam suatu perjalanan tak semuanya
berjalan sesuai dengan harapan. Suatu tantangan tersendiri melakukan perjalanan
ke Pulau Sempu dengan mengecer angkutan umum. “Untuk menuju Surga tersembunyi memang biasanya susah untuk mencapainya,
butuh usaha dan perjuangan”. Ucapku untuk menghibur diri dan menghibur
teman-teman ku dengan senyum getir. Tak lama berselang tampak senyum sumringah
yang terpancar dari wajah teman-teman ku ketika angkot sudah mulai dipadati
penumpang yang satu persatu datang mengisi kekosongan.
Pak kapan jalannya angkot ini, sudah penuh
nih pak!.. “ucap salah satu temanku yang tampak mulai tidak sabar”. Aku
memaklumi kondisinya karena memang sudah
tidak nyaman didalam angkot ini. Hampir satu jam kami berada didalam angkot
yang mulai dijejali dengan berbagai barang belanjaan dan orang. Belum lagi
dikarenakan kursi penumpangaya dimodifikasi menjadi begitu sempit, jarak antar
kaki dan punggung penumpang didepan sungguh pendek yang membuat kakiku terasa
keram karena harus ditekuk.
Angkot yang
ukuran normalnya memiliki kapastitas 10 orang dengan posisi 6 dikanan 4 dikiri
pada bagian belakang kini disulap menjadi 16 orang dibelakang dengan
masing-masing 4 orang pada setiap barisnya.. Hell Yeaaah! Belum lagi ditambah beberapa ekor ayam dan bebek yang
diletakan tepat didepan kami.. Kepalanya muncul dari sela-sela keranjang ayam
jinjing yang baru dibawa dari pasar.
Kondisi didalam angkot yang sangat absurd!
Semuanya
semakin absurd ketika ada tambahan
seorang kenek yang naik diatap angkot untuk menjaga barang-barang yang
diletakan diatas tidak jatuh.. Edan!!.
Hahaha.. tapi semua ini sungguh menjadi pengalaman yang unik bagi kami,
khususnya teman-teman saya yang baru pertama kali mencoba dengan gaya
perjalananku yang independent seperti
ini.
Angin surgaaa!!, hembusan angin
menyelinap masuk melalui jendela angkot yang telah terbuka lebar. Kondisinya
menjadi lebih baik ketika angkot ini mulai melaju ke Sendang Biru. Tantangan
berikutnya adalah ketika angkot yang kami tumpangi ini tidak langsung menuju
Sendang Biru dimana tempat ini merupakan tujuan terakhir untuk dikunjungi. Jika
diibaratkan dalam sebuah jalur kendaraan normal dapat ditempuh jalur yang
relatif lurus, tetapi karena naik angkot jadinya bentuk jalurnya berliku-liku
seperti usus, dikarenakan angkotnya keluar masuk kampung untuk mengantar
penumpangnya sampai depan rumah, keren
kan!
Semua keluh
kesah dan penat dalam angkot tersebut seketika terbayarkan saat menghirup bau
laut. Pantai yang dipadati perahu nelayan yang bersender disepanjang tepi
berjejer dengan rapih. Ah sudah tidak sabar rasanya untuk menyebrang ke Pulau
Sempu dan melihat sendiri keindahan danau ditengah pulau.
Sebelum masuk ke Pulau Sempu yang merupakan
kawasan cagar alam, kami melapor terlebih dahulu ke Departemen Kehutanan Resort
Konservasi Pulau Sempu. Disini kamipun berbincang-bincang mengenai cuaca serta kondisi
track untuk menuju danau serta
kondisi di area cagar alam yang mencakup peraturan yang harus kami taati. Karena
aku teringat foto-foto temanku saat mengunjungi tempat ini ketika musim hujan,
kondisi track nya menjadi medan yang
sangat berat yaitu berlumpur dan licin. Jika memang demikian akupun tak akan
memaksakan diri untuk masuk, apalagi dengan kondisi teman perjalananku yang aku
ajak belum berpengalaman dalam hal tersebut.
Disinilah yang
seharusnya dipersiapkan oleh pengunjung yang hendak masuk ke Pulau Sempu, yaitu
mempersiapkan dengan matang serta tahu kondisi dilapangan. Selain itu dari sisi
pengelola sebagai kawasan cagar alam seharusnya tempat ini memiliki “pagar” yaitu
dibatasi jumlah orang yang berkunjung khususnya yang menginap ketempat ini
mengingat kawasan ini merupakan Cagar Alam tempat konservasi beberapa binatang
serta untuk keperluan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Selain itu untuk setiap orang yang datang cagar ini seharusnya pengelola mencatat apa saja yang dibawa sehingga pada saat kembalipun harus lapor dengan membawa sampahnya agar tidak ditinggal dipulau yang mengakibatkan kondisinya menjadi kotor. Karena yang kami alami setiap pengunjung hanya perlu lapor pada saat mengurus perizinan untuk masuk tanpa dicek perlengkapan atau logitsik yang kami bawa.
Awalnya Ingin
sekali rasanya untuk menginap mendirikan tenda dipinggir danau ditengah pulau
ini, tetapi untuk menghormati tempat ini yang telah ditetapkan sebagai Cagar
Alam, kamipun memutuskan untuk tidak bermalam ditempat ini agar tidak mengganggu
kelangsungan hidup alam yang dilindungi di cagar ini. Selepas menikmati
keindahan danau segara anak kami akan kembali ke Sendang Biru kemudian
melanjutkan perjalanan ke kota Malang.
Setelah
perizinan untuk masuk ke kawasan Pulau Sempu telah kami dapatkan, kami segera
bergegas ke Pantai Sendang Biru untuk menyebrang ke Pulau Sempu menggunakan
perahu nelayan yang menawarkan jasa penyebrangan dengan ongkos antar jemput
kurang lebih 100,000 per rombongan sekali jalan tergantung dari negosiasi awal.
Pantai Sendang Biru, akses menuju pulau sempu |
Memasuki
kawasan cagar alam ini suasananya masih tampak alami dengan pepohonan yang
rindang serta tanaman bakau yang tumbuh ditepi pulau. Jika beruntung anda dapat
berjumpa dengan beberapa binatang liar yang hidup di kawasan ini diantaranya
Babi hutan, Biawak, Kera hitam, Belibis dan burung Rangkong. Kami bersyukur dalam
perjalanan kali ini jalur yang ditapak relatif kering sehingga memudahkan kami
untuk menjelajah pulau ini hingga danau segara anakan.
Pemandangan yang eksotis di pulau sempu, Hidden Paradise on Earth!
Dalam jalur
kering seperti ini kami dapat mencapai danau kurang lebih 80 menit dengan
kecepatan jalan yang santai. Tetapi pengalaman temanku saat musim hujan karena
kondisi berlumpur mereka membutuhkan ekstra waktu dan tenaga yaitu lebih dari 4
jam sekali jalan untuk mencapai danau!. Oleh karena itu disarankan bagi kamu untuk
mempersiapkan segala sesuatunya sebelum masuk ke Cagar Alam ini khususnya P3K
mengingat kawasan ini merupakan cagar alam salah satunya cagar untuk konservasi
ular. Selain itu bisa dikatakan didalam pulau ini tidak ada sumber air bersih
oleh karena itu persiapkan air minum yang cukup untuk kebutuhan kamu.
Setiap jejak
langkah dan tetes keringat yang mengucur untuk ke Pulau Sempu terbayar sudah
ketika telah mencapai danau Segara Anak dan merasakan keindahannya. Ditambah
lagi dapat menatap hamparan samudera dari bibir tebing Pulau Sempu tentunya
menjadi pengalaman berkesan bagi kami.
Yang kami
lakukan disini yaitu hanya duduk santai sembari mengagumi keindahannya. Yang
kami ambil dari tempat ini hanya foto dan kenangan. Yang kami tinggal ditempat
ini hanyalah jejak kaki yang terbentuk dalam setiap langkah kami. Dan tentunya
karena kami tidak menginap di Pulau ini kami mendukung kelestarian ekosistem serta
tidak menggangu kelangsungan hidup flora dan fauna dengan aktifitas yang dapat
menggangu ketenangan dan keheningan malam. Selain itu dengan tidak meninggalkan
sampah tentunya dapat menjaga kelangsungan hidup flora dan fauna pada cagar
alam Pulau Sempu. Living harmony with
nature.
Follow me on
twitter : @travelographers
terakhir saya kesana, sempu sudah mulai banyak sampah dan ranting2 banyak patah.. semoga ada regulasi yang lebih tegas untuk mengatur pejalan agar lebih bertanggungjawab.
ReplyDelete:(, iya semoga semua semakin sadar klo bukan kita yang menjaganya.. terus siapa lagi. kasihan annti anak cucu kita klo tempat" yang dulu kita kunjungi sudah rusak atau ga indah lagi. :)
Deleteseru kalo bisa camping di sempu tp tetep jaga lingkungan
ReplyDeleteyup bener banget mi, harusnya setiap yg camping bawa kantong kresek utk bawa pulang sampahnya juga.. ga dibakar atau ditimbun ditanah. nah itu jadi syarat saat lampor balik ke pengelola utk bukti klo tetap respect dan menjaga kelestarian cagar alam. hehe..
Deleteatau supaya ada efek jera, bisa dikasih peraturan yang ga bawa sampahnya balik dikenakan denda dengan jumlah nominal tertentu :) CMIIW
Mantabs. Artikel yang menarik. Pantai sendang biru dengan pulau sempunya yang indah nan menawan. Salam kenal dari Rental Mobil Malang, http://rentalsewamobilmalangbatu.com/, Simpati 082141 555 123
ReplyDeleteterima kasih rental mobil malang. laris terus ya lapaknya
Delete