Lampung Part III
Di suatu pagi
tepat tanggal 1 Januari 2010 semburat cahaya matahari pagi yang kian meninggi mulai merekah di ufuk timur,
sinarnya mulai memasuki celah-celah
jendela kosan yang dibiarkan terbuka lebar semenjak semalam. Maklum, dengan
ukuran kosan yang kecil yang dijejali puluhan orang membuat jendela dan pintu sengaja
terbuka agar ada sirkulasi udara dan tidak terasa panas.
Cahaya matahari ini seperti menamparku untuk bangun karena begitu
menyilaukan mata. Mungkin karena kemarin terlalu lelah saat keliling kota
Lampung dengan motor dan merayakan pergantian tahun di Bundaran Gajah membuat
kami semua bangun kesiangan. Satu persatu temanku yang tidur berjejer bak “ikan
asin” dijemur mulai beranjak bangun dari alas tikar sambil menunggu
gilirannya untuk mandi dan bersih-bersih. Perasaan begitu excited untuk segera menuju habitat asli lumba-lumba hidup di Teluk
Kiluan, Samudera Hindia.
Diawal-awal mencari informasi mengenai tempat ini, belum banyak yang
mengetahui Teluk Kiluan ini, umumnya orang-orang yang memiliki hobi memancing
yang tahu benar mengenai lokasinya. Bahkan teman-temanku yang di Lampung pun
tidak mengetahui keberadaan surga tersembunyi ini. Teluk Kiluan dapat dicapai
dari kota Bandar Lampung dengan jarak kurang lebih 80 km yang terletak di
kecamatan Kelumbayan Tanggamus, Lampung Selatan tepatnya berada di
wilayah Teluk Semaka yang sebagian besar memiliki daerah berupa pesisir pantai
hingga perbukitan.
Rencana awal
untuk berangkat jam 8 pagi sirna sudah, kondisi telat bangun serta jumlah kamar
mandi yang terbatas membuat waktu yang dibutuhkan untuk bersih-bersih menjadi
lebih lama. Sebagian teman yang sudah mandi mulai mempersiapkan barang bawaan
yang akan dibawa, selebihnya ditinggal dikosan ini agar lebih ringan.
Sekitar pukul
10 lewat, matahari sudah terlihat begitu tinggi diatas kepala, terasa begitu terik.
Masih ada sebagian kawan yang belum selesai untuk persiapannya pun mobil Colt
Diesel yang kami sewa juga belum menampakan wujudnya. Setelah di telepon
ternyata tersesat mencari lokasi kosan yang lokasinya cukup masuk kedalam dari
jalan raya, akhirnya dengan inisiatif dijemputlah supir itu dengan motor agar
segera sampai lokasi.
Tak lama
kemudian, munculah tepat dihadapan kami sebuah mobil Colt Diesel yang terlihat
sudah tua berwarna putih dengan plat nomor BE 2478 DL berhenti di depan teras
kosan. Supir dan kenek turun kemudian menyapa kami dengan bersahaja, mereka
adalah rekomendasi dari pak Dirham yang merupakan penjaga Pulau Kelapa yang
tempatnya akan kami sewa disana.
Setelah kami perkirakan
kapasitas mobil ini, idealnya hanya dapat menampung sekitar 12 orang penumpang sudah
termasuk supir. Komposisinya dengan mobil yang memiliki 4 baris kursi penumpang
termasuk baris pengemudi ini disetiap baris nya hanya dapat diisi 3 orang.
Pak, ini mobilnya kira-kira bisa di isi berapa orang? Ucapku
bertanya kepada pak supir.
Pertanyaan ku
ini untuk menyakinkan kapasitas sebenarnya yang dapat dibawa oleh mobil ini,
mengingat kondisi mobilnya yang sudah cukup uzur. Ya walaupun aku tahu
ketangguhan mesin Colt Diesel tak perlu diragukan performanya, hanya saja mempertimbangkan
kemungkinan lain mengingat berdasarkan informasi yang aku peroleh dari Pak
Dirham akses jalanan menuju kesana cukup terjal dan banyak jalanan yang masih
rusak.
“Bisa diisi 14 orang mas tapi agak desak-desakan saja didalamnya” Ujarnya.
Dengan ada nya
kenek berarti kapastitas tinggal 13 orang itupun harus dilihat barang bawaan.
Ya tentu saja mobil ini tak cukup untuk menampung 17 orang yang mau ikut serta,
10 orang dari Jakarta dan ditambah temannya Ilham dan Andra sejumlah 5 orang
yang berasal dari Lampung. Tapi sebelumnya kami sudah mengantisipasi beberapa
diantaranya akan mengunakan motor. Jadi 4 orang akan menggunakan motor
berboncengan dan 13 orang lainnya dapat masuk ke mobil.
Dan komposisi
mobilnya pun yang seharusnya masing-masing diisi 3 orang untuk setiap barisnya
kini menjadi 3 orang didepan, 4 orang dibaris pertama, 3 orang dibaris kedua
dan 3 orang dibagian belakang mengingat beberapa diantara kami berbadan besar.
Dengan barang
bawaan yang cukup banyak kondisi didalam mobil ini terasa begitu sesak. Kami
membawa 1 aqua gallon untuk persediaan minum disana serta beberapa tas yang
berisi pakaian ganti. Bruuuk, pintu
bagasi ditutup dengan setengah dibanting agar tertutup, tapi apa daya karena
kondisi bagasi yang kecil serta beberapa barang bawaan yang kami bawa cukup
banyak membuat bagasi tak dapat ditutup dengan rapat. Akhirnya dengan tali
tambang, bagasi diikat agar bisa tertutup dan dapat mengurangi resiko bagasi
akan terbuka ditengah-tengah perjalanan dan meluluh lantahkan barang bawaan
jatuh ke jalan.
Perjalananpun
dimulai, 2 motor berboncengan yang dikendarai oleh Rian dan Irsyad mengikuti
laju mobil Colt Diesel ini dari belakang. Di pertengahan jalan karena ini hari
jumat maka kami sempatkan untuk berhenti sejenak untuk shalat di sebuah masjid.
Perjalanan menuju Kiluan melewati daerah pesisir dimana jalan utamanya
merupakan jalur utama ke beberapa objek wisata pantai yang terkenal di Lampung
diantaranya yaitu pantai Mutun dan Kelapa Rapat.
Dibagian awal
perjalanan kondisi jalan yang dilewati masih terbilang bagus dengan permukaan
aspal. Pemandangan yang dapat dinikmati sepanjang perjalanan dibagian kiri
yaitu sesekali tampak laut yang terbentang luas sedangkan dibagian sisi kanan
tampak hutan dan pepohonan yang tumbuh dengan rindang menghijau.
Siang itu
sekitar pukul dua suasana dusun-dusun yang kami lewati terlihat begitu sepi,
hanya tampak beberapa orang melakukan aktifitas diluar rumah. Deretan rumah-rumah
berukuran sedang di dusun tersebut didominasi bangunan berbentuk rumah panggung
menjadi salah satu objek yang menarik untuk dilihat sepanjang perjalanan.
Penduduk yang sekarang mendiami daerah ini cukup beragam diantaranya berasal
dari Suku Jawa, Bali, Sunda, Banten, Bugis yang merupakan pindahan dari program
transmigrasi pemerintah serta penduduk pribumi dari Lampung.
Setelah
melewati daerah Lempasing, Mutun dan Kelapa rapat yang relatif memiliki kontur
jalan yang baik, kini setelah tiba disebuah desa bernama desa bawang kondisi
jalanan berubah drastis. Lubang besar yang sebagian terisi tempungan air hujan
menjadi seperti sebuah kubangan tepat berada di badan jalan yang hendak
dilalui. Butuh kesabaran dan kehati-hatian dalam melewati jalan ini agar tidak
terjebak dalam kubangan tersebut, mengingat bisa saja lubangnya cukup dalam
dengan kondisi jalan yang bergelombang tak rata, sebagian besar masih tanah dan
berbatu.
Dibalik medan
yang berat itu setidaknya pemandangan di kedua sisi begitu indah untuk
dinikmati. Perjalanan ini melalui sebuah gunung bernama Tanggamus yang
merupakan rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 1126 dari permukaan
laut sehingga sepanjang perjalanan akan disuguhi panorama keindahan alam
perbukitan dan lembah. Beberapa kondisi jalan yang terjal dan berbatu membuat kami harus turun
dari mobil kemudian menapaki jalan pada turunan yang terjal tersebut.
Untung saja
beberapa hari kemarin cuaca di sekitar daerah ini tidak hujan deras, jika hujan
turun tak banyak yang berani melewati jalan ini dikarenakan begitu licin dan
curam menukik curam kebawah pada jalan yang memiliki pembatas dengan jurang.
Dan yang membuat aku tenang, supir ini begitu mengenal medan secara beliau
adalah penduduk di Desa Kiluan Negeri.
Setelah melewati
jalanan yang curam tersebut kami melalui sebuah kampung Bali yaitu sebuah
perkampungan yang dihuni orang yang berasal dari Bali yang pindah melalui
program Transmigrasi penduduk untuk memajukan kehidupan disuatu daerah yang masih berkembang. Tampak
beberapa pura besar dan bangunan yang kental dengan tradisi Bali, hal ini
tampak jelas pada arsitektur bangunan dan ornament yang menghiasi bangunan
tersebut.
Welcome to Kiluan Negeri, Sebuah tulisan
dengan cat biru terlihat pada sebuah tembok yang berdasar warna putih. Akhirnya
kami telah tiba di sebuah tempat yang kami ingin tuju dari perjalanan yang
cukup panjang dan melelahkan. Sesampainya dipesisir pantai, kami sejenak melepas
lelah disebuah warung tempat mobil diparkir sebelum menyebrang ke pulau Kelapa
tempat kami akan bermalam.
Dengan perahu
nelayan yang berkapasitas kurang lebih 9 orang sehingga kami dipecah dalam 2
group. Karena aku group ke 2, sambil menunggu perahu tersebut kembali aku
menikmati pantai di Teluk Kiluan yang masih relatif bersih. Lokasinya yang
begitu terpencil dengan akses transportasi yang kurang baik membuat tempat ini
seperti daerah terasing, tapi setidaknya dengan begitu kondisi alam disekitar
Teluk Kiluan masih terlihat terjaga dengan baik.
Sesampai
dipenginapan aku sempatkan berbincang sejenak dengan Pak Dirham penjaga Pulau
Kelapa sambil merapihkan barang bawaan dan dimasukan kedalam sebuah rumah
panggung yang terbuat dari kayu dan beratap seng. Melihat pantai dengan
hamparan pasir yang putih dan air yang jernih, setelah meletakan barang bawaan kamupun segera
meluncur ketepi pantai untuk menikmati keindahan Kiluan secara lebih dekat.
Dalam beberapa
hari terakhir ditempat ini setiap menjelang sore hari cuaca berawan, sehingga tak
begitu tampak keindahan matahari terbenam dari pulau ini karena tertutup oleh
gumpalan awan putih yang tebal menyelimuti langit di Lampung Selatan. Tapi
setidaknya ada banyak hal yang bisa dinikmati dipulau ini, selain pantai yang
bersih untuk snorkeling terdapat susunan batu dan pulau-pulau kecil yang
memecah ombak dari Samudera Hindia yang membentang luas di depan mata.
Matahari telah
kembali keperaduannya, terasa begitu kelam tertutup awan kelabu yang menguning
senja. Binatang malam mulai muncul dan saling sahut menyahut mendendangkan
suara yang harmonis. Aku merasakan ketenangan ditengah suasana alam yang begitu
sunyi damai dan jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota besar sambil melepas
senja yang akan berganti malam. Sambil menunggu makan malam yang dihidangkan
dari hasil tangkapan laut nelayan setempat, kami berdiskusi dengan pak Dirham
mengenai rencana kami untuk melihat lumba-lumba secara lebih dekat.
Dalam satu ruangan
kami berkumpul untuk membicarakan kemungkinan resiko yang dapat dihadapi dihari
esok, masalah biaya serta faktor keselamatan. Untuk melihat lumba-lumba,
Gimana cuaca dalam beberapa hari terakhir
pak?” Aku bertanya ke Pak Dirham untuk sedikit mendapatkan gambaran
mengenai kondisi cuaca terkini di sekitar Teluk Kiluan.
“Untuk melihat lumba-lumba itu tergantung
faktor keberuntungan. Gak tentu mas karena tak bisa diprediksi, Minggu lalu ada
beberapa orang bule prancis yang menginap disini pengen sekali mereka untuk
melihat lumba-lumba, tapi sampai di laut ga ada lumba-lumba yang muncul” Ucap
pak Dirham sambil menghela nafas kemudian melanjutkan berbicara.
“Mereka sudah beberapa hari disini tapi cuaca
sedang tidak memungkinkan, ada yang sempat nekat mengajak nelayan untuk melaut
tetapi sesampai ditengah hujan turun, cuaca buruk dan ombak begitu besar, ya jadinya
harus kembali lagi ke pulau. Tapi kalo memang cuaca bener-bener buruk ya
nelayan juga gak mau mengantarkan, yang paling penting selamat mas.” Kali ini
giliran ku yang menghela nafas dalam-dalam mendengar penjelasan pak Dirham.
Inti dari
obrolan kami dengan Pak Dirham yaitu beliau pun tak akan memaksakan kondisi
untuk melihat lumba-lumba, jika cuaca tidak memungkinkan tentunya lebih baik
tidak melaut. Ya walaupun kecewa tentunya bagaimanapun juga faktor keselamatan
harus diutamakan, dan kami percaya mereka berniat baik untuk membantu kami
dapat melihat lumba-lumba lebih dekat di tempat populasi aslinya ini dimana
Teluk Kiluan merupakan populasi terbesar lumba-lumba di Asia Tenggara.
Dari hasil diskusi
akhirnya hanya 9 orang saja yang berani (lebih tepatnya memberanikan diri)
untuk melihat lumba-lumba dipagi hari, terhitung jumlah yang pas dikarenakan
satu perahu kecil kapasitas maksimal hanya 3 penumpang saja. Kapalnya pun
berbeda yaitu dengan ukuran dan mesin yang lebih kecil. Malam ini harus
diputuskan karena agar dapat dipersiapkan jumlah perahu yang akan berangkat
dipagi hari. Pertimbangan beberapa orang yang tidak ikut serta dikarenakan
perahunya begitu kecil serta tidak dilengkapi dengan pelampung, ditambah lagi
ombak yang begitu tinggi akhir-akhir ini.
Usai gelapnya malam berganti menjadi sang fajar yang mulai menyingsing di pagi hari memancarkan
cahaya indahnya dan menyapa dengan senyumnya. Begitu senang rasanya ketika mendengar kabar hari
ini diprediksi cuaca cerah dan kondisi ombak di Samudera Hindia relatif aman
untuk pengarungan. Perjalanan jauh yang telah kami tempuh untuk melihat lebih
dekat si lumba lumba semakin nyata didepan mata. Ya semoga dipertemukan, seraya
berdoa didalam hati.
Perahu jukung bermesin tunggal mulai dipersiapkan untuk mengarungi Samudera
Hindia, kami pun bergegas masuk dengan pembagian 3 orang disetiap perahu. Ombak
dipagi hari itu masih terasa tinggi tetapi nelayan yang mengantarkan kami
menyakinkan kami pengarungan ini aman karena langit tidak sedang berwajah muram
seperti beberapa hari sebelumnya.
Pengarungan
dimulai, awalnya cukup sport jantung
ketika beberapa kali perahu jukung kecil ini menghempas ombak yang cukup tinggi
sehingga air pun sedikit masuk kedalam jukung, untung saja aku menggunakan
jacket yang tahan air sehingga tidak terlalu basah ditubuh ini. Sekitar pukul 7
pagi kami sudah berada di tengah Samudera Hindia dan sudah cukup jauh dari
daratan tapi belum tampak lumba-lumba muncul disini.
Nelayan
tersebut mengatakan ‘sambil
berputar-putar kita tunggu saja
beberapa menit lagi, biasanya kisaran jam 7 lumba-lumba akan berada disini
untuk mencari makan, kalau mau melihat hiu ada disebelah sana”. Ucapnya
sambil menunjuk ke hamparan laut yang luas di arah yang berbeda. Dari sini juga
terlihat cukup jelas Gunung Krakatau yang terlihat gagah ditengah lautan.
Mesin perahu
jukung sejenak dimatikan, sambil menunggu beliaupun sambil melempar kail
pancingnya hanya ke laut untuk memancing ikan kembung yang banyak berada didaerah
ini. Sesekali beliau mengangkat kail pancingnya dan sudah mendapat beberapa
ekor ikan. Langsung terbesit dipikiranku, ikan yang semalam kami santap berasal
dari tangkapan seperti ini.
“Ikan lumba-lumba itu tidak suka suara yang
bising, biasanya menghindar dari perahu besar yang mesinnya terlalu berisik”. Ujarnya,
Kemudian beliau melanjutkan percakapan dan menjelaskan kepada kami.
“Ada dua jenis lumba-lumba di sekitar
perairan Teluk Kiluan ini, ada Hidung Botol yang badannya besar tapi sedikit
pemalu satu lagi jenis lumba-lumba Paruh Panjang yang suka melompat tinggi ke
permukaan dengan ukuran tubuh yang kecil kecil”.
Akupun
mengangguk, ya itulah alasaannya mengapa pengarungan ini dilakukan dengan
perahu jukung yang kecil dan sambil menunggu rombongan lumba-lumba lewat mesin
motor sempat dimatikan agar tidak membuat takut lumba-lumba untuk menampakan
diri. Awalnya sempat mulai sedikit pesimis karena apa yang kami tunggu tak
kunjung tiba.
Akhirnyaaa… yang aku impikan selama ini terwujud, tidak
hanya satu lumba-lumba yang muncul tapi ratusan ekor menampakan dirinya
diperairan ini. Lumba-lumba Paruh Panjang melompat dengan tinggi diikuti
beberapa ekor dari koloni nya, sedangkan lumba-lumpa Hidung Botol melompat
kecil disekitar perahu kami. Nelayan kami kemudian mengarahkan laju perahu kearah lumba-lumba tersebut dan
lumba-lumba tersebut malahan mendekati kami seolah-olah mengajak kami bermain
main. Koloni tersebut bermain begitu dekatnya dengan kami sehingga sesekali aku
dapat menyentuh langsung lumba-lumba tersebut ketika melewati ku.
Tak dapat
digambarkan betapa senangnya perasaanku saat itu, melihat ratusan lumba-lumba dalam
jumlah besar yang terdiri dari beberapa koloni mengajak bercanda dengan kami.
Ada puluhan koloni yang mencari ikan disini dimana umumnya dalam 1 koloni
lumba-lumba bisa mencapai ratusan ekor berkumpul dan bersosialisasi dengan
kelompoknya.
Sepanjang perjalanan
ini tak hanya pengalaman baru yang kami peroleh, tetapi juga pengetahuan yang
banyak mengenai lokasi ini yang dideskripsikan dengan baik oleh Pak Dirham dan nelayan
setempat. Beliau menceritakan mata pencaharian utama penduduk setempat yaitu
menjadi nelayan yang masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti pancing
dan jala rawai dengan perahu jukung kecil. Sebagian besar menggantungkan pada
sumber daya laut yang cukup melimpah diperairan Teluk Kiluan ini untuk bertahan
hidup dan sebagian dengan bercocok tanam dan beternak.
Mereka sadar
jika keberadaan lumba-lumba ini dijaga maka masyarakat setempat akan
mendapatkan positifnya yaitu dari kedatangan pengunjung yang berwisata di
tempat ini. Hal ini sudah dilakukan secara bertahap dengan melakukan
sosialisasi untuk tidak memburu lumba-lumba serta menangkap ikan dengan
menggunakan bom yang dapat merusak karang dan biota laut disekitarnya. Tentunya
dengan terus dijaga kelestariannya maka rantai makanan akan seimbang dan hasil
tangkap laut pun tetap melimpah untuk dapat memebuhi kehidupan sehari-hari
mereka.
Selain itu untuk
memajukan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat disekitar Kiluan Negeri yang
umumnya dari program transmigrasi, Pemda setempat harus lebih serius
mempromosikan dengan mengadakan event lomba memancing yang rutin serta
dilakukan peningkatan infrastruktur seperti akses jalan menuju ke surga
tersembunyi ini.
Follow me on twitter : @travelographers
suka meriang gw kalo liat lumba2 di kiluan, bener2 menajubkan. Perna di ikutin disebelah perahu itu rasa nya bener2 makyussss
ReplyDeleteiya betul.. begitu exited dan senang dengan pengalaman yang ga akan terlupakan.. dikelilingi lumba-lumba yang berenang disekeliling jukung kita..
Delete