Pages

Wednesday, August 15, 2012

Jejak Kaki Pertamaku di Tanah Sumatera, Kota Bandar Lampung



Lampung Part I

Sudah lebih dari 20 tahun usiaku, namun belum pernah sekalipun kaki ini sempat berpijak ke tanah Sumatera di seberang pulau itu. Besar dan tumbuh di pulau Jawa membuatku lebih banyak melakukan perjalanan di kota-kota pulau Jawa saja. Rasanya tanah itu begitu asing dalam benak pikiranku, entah karena diseberang pulau yang berbeda dan tentu saja akan ada perbedaan budaya adat istiadat pula tentunya.
Trrrrr Trrrr.. Telepon genggamku bergetar, ada sebuah pesan singkat yang masuk rupanya diwaktu menjelang akhir tahun 2009 ini. Ku lihat layar dan pesan tersebut ternyata dari Farah salah satu adik kelas ku di kampus dulu dan juga rekan kerja saat menjadi asisten di laboratorium teknik. Perlahan ku baca dengan seksama isi pesan singkat tersebut yang menanyakan kabar dan wacana untuk reuni teman-teman alumni lab sambil travelling bersama.
Dikarenakan kesibukan masing-masing membuat kami lama tak bersua, seingatku terakhir kami berjalan bersama ketika melakukan touring ke Cibodas dan air terjun Cibereum serta perjalanan ke kota kembang menuju Tangkuban Perahu dan Maribaya melalui jalur Puncak. Singkat kata akhirnya berdasarkan diskusi dengan teman yang lain kami memutuskan untuk pergi ke Lampung, mengingat kami memiliki teman yang sedang bekerja disana, hitung-hitung kami bisa irit biaya penginapan selama disana. 

Perasaan ini begitu bersemangat ketika yang konfirmasi ikut cukup banyak, terlebih lagi waktunya sangat tepat, menjelang pergantian tahun sehingga kami dapat merasakan suasana tahun baru di tanah Sumatera untuk pertama kalinya di tahun 2010.
Terminal Kampung Rambutan menjadi tempat pertemuan kami, satu persatu mulai berdatangan di meeting point yang telah kami sepakati sebelumnya. Malam itu pukul 9, tampak sudah semuanya telah datang diantaranya Farah, Ares, Jackson, Yondanil, Yoga, Febri, Harry, Silfi dan Hendri.  Setelah yakin semua telah berkumpul, kami bergegas menuju bus Laju Utama yang sedang berhenti mencari penumpang diluar terminal tepatnya di jalan Merdeka, alasan kami naik diluar karena umumnya bus ini langsung berangkat menuju Merak.
Disela waktu menunggu bus melaju, satu demi satu musisi jalanan naik ke dalam bus dan mencoba menghibur penumpang yang ada. Puluhan lagu dari berbagai genre pun dinyanyikan, mulai dari pop terkini, lagu dangdut sampai suara yang terdengar sumbang yang terasa begitu memekakan telinga. Ah Sapiii! Niatnya ingin tidur nyenyak yang ada malah perasaan terganggu dengan kehadiran mereka, belum lagi ada beberapa preman yang agak memaksa untuk diberikan uang sumbangan. Rasanya tak guna juga mengeluhkan keadaan pada saat itu, beginilah wajah transportasi umum di negara kita dimana kenyamanan itu harga yang mahal untuk diperoleh.
Perjalanan malam itu dapat dikatakan lancar, tepat dini hari kami telah sampai di Pelabuhan Merak tempat bersandarnya kapal Ferry yang akan mengantarkan kami ke tanah Sumatera. Proses pembelian tiketnya pun cukup mudah, terdapat jalur khusus untuk antrian penumpang menuju deck kapal, untuk saat itu biayanya sepuluh ribu rupiah.
Dikarenakan beberapa tempat sudah penuh, kami memilih ruang lesehan untuk duduk, dan ternyata masih dikenakan biaya tambahan sejumlah lima ribu rupiah, sedangkan untuk ruang VIP sekitar sepuluh ribu rupiah. Karena jenuh di sudut ruang sempit itu, akhirnya kami malah memilih duduk dipinggir pagar sambil menatap hamparan lautan dalam kegelapan, kosong.
Kelap kelip gemerlap lampu di pesisir pantai dan pelabuhan mulai tampak dari dataran yang dahulunya begitu asing bagi ku, sayup-sayup suara adzan terdengar dari ditelingaku. Dan kini dihadapanku tanah Sumatera terbentang begitu luas dan mulai tercium dihidungku ketika kapal mulai merapat untuk bersandar di Pelabuhan Bakaheuni, Lampung.
Doa dan sujud syukur kami panjatkan kepada sang Pencipta disebuah surau kecil yang letaknya masih dikawasan pelabuhan, sekaligus untuk membasuh diri dengan air agar lebih segar setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Tapi ini belumlah selesai, masih ada beberapa jam lagi perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai kota.
Dengan menggunakan mobil jenis minibus yang berperan sebagai travel antar jemput yang tak bernama ini, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandar Lampung. Brrrummm… Brrrummm…  ketika mulai penuh, pak supir dibalik kemudi mulai menyalakan mesin dan mencoba melaju, tapi ketika baru mencapai beberapa ratus meter, tiba-tiba mobil diberhentikan oleh beberapa orang dari mobil lain yang sepertinya preman disana, supir itupun turun tetapi sebelumnya bilang ke kami “jangan ada yang turun, diam saja disini” dengan aksen Sumatera yang begitu kental.
Dari balik jendela mobil, aku menatap keadaan sekeliling yang masih gelap gulita belum tampak mentari bersinar, kiri kanan hanya tampak hamparan ilalang dan rumput yang tumbuh liar dipinggir jalan. Keadaan menjadi cukup menegangkan ketika terlihat terjadi pecekcokan diluar, terdengar nada-nada tinggi yang terlontar dari mulut mereka yang beradu argumen. Seperti percekcokan ini terjadi dikarenakan berebut penumpang atau mungkin saja upeti yang harus diberikan setiap supir yang melewati jalan ini.
Dengan wajah kesal, pak supir kembali kedalam mobil, Bruuk! Cukup kencang beliau menutup pintu itu dan bergegas menyalakan mesin untuk melanjutkan perjalanan. Suasana menjadi agak mencekam dan tegang, melihat kondisi saat itu aku menjadi enggan bertanya ada apa gerangan diluar sana. Tapi tak lama setalah melewati gerombolan orang tadi.
Beliau tiba-tiba berkata singkat ke kami “Santai saja, sudah biasa itu disini.. tidak apa apa” .
Oh gitu pak”, sahut saya.
Beliaupun menjawab, “iya biasalah masalah penumpang”.
Perjalananpun dilanjutkan, dengan kondisi jalanan yang begitu sepi. Cukup kencang kecepatan mobil ini dipacu benar-benar seperti merasakan sedang berada ditengah-tengah ajang balap di sebuah sirkuit!. Whuusss Whusss, Satu persatu mobil dijalan itu dilewati dan terkadang mobil mengerem mendadak untuk menghindari lubang besar yang menghiasi jalanan disana. Kondisi ugal-ugalan seperti ini membuatku sulit untuk tidur dan beristirahat, belum lagi ada rasa khawatir memikirkan cara supir ini mengendarai mobil ini.
Asyiknya naik mobil travel ini, dengan biaya tiga puluh lima ribu rupiah kami diantar sampai alamat tujuan yaitu kosan teman kami bernama Ilham dan Andra yang memang kerja di kota Bandar Lampung. Rasanya begitu gembira melihat lapak beralas tikar untuk rebahan dan istirahat sejenak dari perjalanan yang cukup melelahkan dari semalam.
Sempat terlelap dalam keletihan, aku terbangun karena perut terasa lapar. Beberapa temanku masih terlelap berjejer dengan rapihnya seperti ikan asin dipinggir pantai yang sedang dijemur kering. Farah dan Ilham mengajak saya ke warung dekat stadion untuk membeli sarapan nasi uduk sekaligus membungkus untuk teman-teman saya yang masih tidur. “Disana ada nasi uduk yang enak, biasanya rame banget, mumpung masih pagi belum habis” ucapnya.
Tak terasa waktu sudah menujukan pukul 10 pagi, sarapan dikosan terasa begitu lezat disantap bersama-sama dengan kondisi perut yang memang lapar karena perjalanan yang cukup jauh. Selesai bersih-bersih, kami mencoba mencari pinjaman beberapa motor ke tetangga kosan untuk mengelilingi kota Bandar Lampung dengan sepeda motor.
Dapat 5 motor yang dapat dipinjam cukup bagi kami untuk berboncengan menjelajahi kota Lampung. Plat nomornya berasal dari kota Lampung dan Padang, karena memang mereka teman satu Kampung halaman Farah dan Yondanil yang berasal dari kota yang sama. Dengan sepeda motor kami menelusuri jalan di kota Lampung serta menuju perkebunan durian ingin mencicipi durian Lampung yang memiliki cita rasa yang khas dibanding durian lain. Tentunya akan terasa lebih nikmat jika dinikmati dari kotanya langsung, kota Bandar Lampung.
Mendapat informasi disekitar perkebunan durian ada tempat camping ground dan air terjun, kamipun melaju ketempat itu. Dikarenakan pengetahuan yang terbatas mengenai kota Lampung, beberapa kali kami bertepi untuk bertanya kepada penduduk setempat mengenai tempat itu. Perjalanannya cukup berliku dengan kondisi jalanan yang kurang bagus, tapi kami menikmatinya walau tak tau arah jalan yang benar.
Dengan papan petunjuk yang ada, kami menuju air terjun itu. Suasananya begitu sepi hanya terlihat beberapa  orang yang berkunjung kesana. Hal ini terlihat tempat dari parkiran tak lebih dari 10 motor yang diparkir bersamaan dengan motor kami yang baru datang.  Mungkin orang-orang yang ada disini memang penduduk setempat yang sedang bermain ditempat ini.
Satu demi satu anak tangga di jalan setapak menuju air terjun kami lewati, dengan cuaca yang cukup terik siang itu membuat kami agak kelelahan dan terasa begitu haus dahaga. “Semoga air terjunnya bagus, jalan kesininya sudah jauh dan cukup melelahkan” Ucap salah satu temanku. Perasaanku mulai tak enak, sepertinya ada yang janggal. Karena umumnya yang namanya air terjun itu merupakan air yang mengalir di suatu tebing yang cukup tinggi. Tapi disekelilingku tak tampak tebing yang menjulang tinggi keatas, Semua tampak sebagai daratan yang luas yang dipenuhi pepohonan yang hijau, suara gemercik airnya pun tak terdengar.
Firasatku cukup benar adanya, ketika sampai ke “air terjun” itu, tak tampak seperti air terjun yang kami banyangkan sebelumnya. Dari kejauhan terlihat beberapa anak kecil dari penduduk setempat yang sedang telanjang mandi dengan riangnya. Mereka terlihat begitu menikmati kucuran air dengan warna kecoklatan dari atas tebing, yang tingginya kurang lebih hanya lima meter.


 Terlihat raut wajah yang kecewa dari paras wajah teman seperjalananku, rasanya tidak worth it jika dibandingkan dengan usaha untuk kesini yang cukup melelahkan. Sekedar foto-foto dan sedikit bercanda dengan anak-anak kecil yang sedang mandi di air terjun tersebut, setelah itu kami melanjutkan perjalanan untuk mencari durian Lampung.
Disebuah lapak dipinggir jalan kami melihat beberapa penjual durian yang menjajakan dagangannya, kamipun memperlambat laju motor yang kami kendarai dan merapat ke sebuah warung yang kami pilih secara acak.
“mari mampir, ini durian jatuh asli lampung rasanya manis” Seorang Bapak paruh baya mencoba untuk menawarkan dagangannya kepada kami.
“Ini berapa pak harganya” Beberapa diantara kami bertanya dengan pertanyaan yang sama.


Proses tawar-menawarpun dimulai, awalnya aku enggan untuk menawar lagi, karena belum ditawar pun sudah murah, ya tentunya apabila dibandingkan dengan harga di kota besar bisa berkali-kali lipat harganya. Singkat kata kami mendapatkan harga kesepakatan yang bagus, dengan uang enam pulu ribu rupiah kami dapat mencicipi 8 buah durian lampung yang nikmat.  Dagingnya berwarna kuning keemasan, dengan biji didalamnya yang cukup besar. Rasa manisnya membaut lidah kami enggan untuk berhenti mengunyah.
Ingin sekali rasanya menambah beberapa butir lagi, tapi dikarenakan masih ada rencana kuliner ditempat lain dan tentunya menghidari terlalu berlebihnya mengkonsumsi durian akhirnya kami mengurungkan niat itu. Rasanya senang sekali bisa makan durian langsung membeli ke petaninya dengan harga murah. Dari hal ini tentunya menjadi renungan tersendiri untuk perjalanan hari ini, terkadang kita tidak selalu mendapatkan hal yang sesuai dengan harapan tetapi akan selalu ada hikmah dan pengalaman baru yang akan kita kenang suatu saat kelak. Air terjun dan durian Lampung, yummy!

Follow me on twitter : @travelographers

No comments:

Post a Comment