Lampung Part I
Sudah lebih dari
20 tahun usiaku, namun belum pernah sekalipun kaki ini sempat berpijak ke tanah
Sumatera di seberang pulau itu. Besar dan tumbuh di pulau Jawa membuatku lebih banyak
melakukan perjalanan di kota-kota pulau Jawa saja. Rasanya tanah itu begitu
asing dalam benak pikiranku, entah karena diseberang pulau yang berbeda dan
tentu saja akan ada perbedaan budaya adat istiadat pula tentunya.
Trrrrr Trrrr.. Telepon genggamku
bergetar, ada sebuah pesan singkat yang masuk rupanya diwaktu menjelang akhir
tahun 2009 ini. Ku lihat layar dan pesan tersebut ternyata dari Farah salah
satu adik kelas ku di kampus dulu dan juga rekan kerja saat menjadi asisten di
laboratorium teknik. Perlahan ku baca dengan seksama isi pesan singkat tersebut
yang menanyakan kabar dan wacana untuk reuni teman-teman alumni lab sambil travelling bersama.
Dikarenakan
kesibukan masing-masing membuat kami lama tak bersua, seingatku terakhir kami
berjalan bersama ketika melakukan touring
ke Cibodas dan air terjun Cibereum serta perjalanan ke kota kembang menuju
Tangkuban Perahu dan Maribaya melalui jalur Puncak. Singkat kata akhirnya
berdasarkan diskusi dengan teman yang lain kami memutuskan untuk pergi ke Lampung,
mengingat kami memiliki teman yang sedang bekerja disana, hitung-hitung kami
bisa irit biaya penginapan selama disana.
Perasaan ini
begitu bersemangat ketika yang konfirmasi ikut cukup banyak, terlebih lagi
waktunya sangat tepat, menjelang pergantian tahun sehingga kami dapat merasakan
suasana tahun baru di tanah Sumatera untuk pertama kalinya di tahun 2010.
Terminal Kampung
Rambutan menjadi tempat pertemuan kami, satu persatu mulai berdatangan di meeting point yang telah kami sepakati
sebelumnya. Malam itu pukul 9, tampak sudah semuanya telah datang diantaranya
Farah, Ares, Jackson, Yondanil, Yoga, Febri, Harry, Silfi dan Hendri. Setelah yakin semua telah berkumpul, kami
bergegas menuju bus Laju Utama yang sedang berhenti mencari penumpang diluar terminal
tepatnya di jalan Merdeka, alasan kami naik diluar karena umumnya bus ini
langsung berangkat menuju Merak.
Disela waktu
menunggu bus melaju, satu demi satu musisi jalanan naik ke dalam bus dan
mencoba menghibur penumpang yang ada. Puluhan lagu dari berbagai genre pun dinyanyikan, mulai dari pop
terkini, lagu dangdut sampai suara yang terdengar sumbang yang terasa begitu
memekakan telinga. Ah Sapiii! Niatnya
ingin tidur nyenyak yang ada malah perasaan terganggu dengan kehadiran mereka,
belum lagi ada beberapa preman yang agak memaksa untuk diberikan uang sumbangan.
Rasanya tak guna juga mengeluhkan keadaan pada saat itu, beginilah wajah transportasi
umum di negara kita dimana kenyamanan itu harga yang mahal untuk diperoleh.
Perjalanan malam
itu dapat dikatakan lancar, tepat dini hari kami telah sampai di Pelabuhan
Merak tempat bersandarnya kapal Ferry yang akan mengantarkan kami ke tanah
Sumatera. Proses pembelian tiketnya pun cukup mudah, terdapat jalur khusus
untuk antrian penumpang menuju deck kapal, untuk saat itu biayanya sepuluh ribu
rupiah.
Dikarenakan
beberapa tempat sudah penuh, kami memilih ruang lesehan untuk duduk, dan
ternyata masih dikenakan biaya tambahan sejumlah lima ribu rupiah, sedangkan
untuk ruang VIP sekitar sepuluh ribu rupiah. Karena jenuh di sudut ruang sempit
itu, akhirnya kami malah memilih duduk dipinggir pagar sambil menatap hamparan
lautan dalam kegelapan, kosong.
Kelap kelip
gemerlap lampu di pesisir pantai dan pelabuhan mulai tampak dari dataran yang
dahulunya begitu asing bagi ku, sayup-sayup suara adzan terdengar dari ditelingaku.
Dan kini dihadapanku tanah Sumatera terbentang begitu luas dan mulai tercium
dihidungku ketika kapal mulai merapat untuk bersandar di Pelabuhan Bakaheuni,
Lampung.
Doa dan sujud
syukur kami panjatkan kepada sang Pencipta disebuah surau kecil yang letaknya
masih dikawasan pelabuhan, sekaligus untuk membasuh diri dengan air agar lebih segar
setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Tapi ini belumlah selesai,
masih ada beberapa jam lagi perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai kota.
Dengan
menggunakan mobil jenis minibus yang berperan sebagai travel antar jemput yang tak bernama ini, kami melanjutkan
perjalanan menuju Bandar Lampung. Brrrummm… Brrrummm… ketika mulai penuh, pak supir dibalik kemudi
mulai menyalakan mesin dan mencoba melaju, tapi ketika baru mencapai beberapa
ratus meter, tiba-tiba mobil diberhentikan oleh beberapa orang dari mobil lain
yang sepertinya preman disana, supir itupun turun tetapi sebelumnya bilang ke
kami “jangan ada yang turun, diam saja
disini” dengan aksen Sumatera yang begitu kental.
Dari balik
jendela mobil, aku menatap keadaan sekeliling yang masih gelap gulita belum
tampak mentari bersinar, kiri kanan hanya tampak hamparan ilalang dan rumput
yang tumbuh liar dipinggir jalan. Keadaan menjadi cukup menegangkan ketika
terlihat terjadi pecekcokan diluar, terdengar nada-nada tinggi yang terlontar
dari mulut mereka yang beradu argumen. Seperti percekcokan ini terjadi
dikarenakan berebut penumpang atau mungkin saja upeti yang harus diberikan
setiap supir yang melewati jalan ini.
Dengan wajah
kesal, pak supir kembali kedalam mobil, Bruuk!
Cukup kencang beliau menutup pintu itu dan bergegas menyalakan mesin untuk
melanjutkan perjalanan. Suasana menjadi agak mencekam dan tegang, melihat
kondisi saat itu aku menjadi enggan bertanya ada apa gerangan diluar sana. Tapi
tak lama setalah melewati gerombolan orang tadi.
Beliau
tiba-tiba berkata singkat ke kami “Santai
saja, sudah biasa itu disini.. tidak apa apa” .
“Oh gitu pak”, sahut saya.
Beliaupun
menjawab, “iya biasalah masalah
penumpang”.
Perjalananpun
dilanjutkan, dengan kondisi jalanan yang begitu sepi. Cukup kencang kecepatan
mobil ini dipacu benar-benar seperti merasakan sedang berada ditengah-tengah ajang
balap di sebuah sirkuit!. Whuusss Whusss,
Satu persatu mobil dijalan itu dilewati dan terkadang mobil mengerem mendadak
untuk menghindari lubang besar yang menghiasi jalanan disana. Kondisi
ugal-ugalan seperti ini membuatku sulit untuk tidur dan beristirahat, belum lagi
ada rasa khawatir memikirkan cara supir ini mengendarai mobil ini.
Asyiknya naik
mobil travel ini, dengan biaya tiga puluh lima ribu rupiah kami diantar sampai
alamat tujuan yaitu kosan teman kami bernama Ilham dan Andra yang memang kerja
di kota Bandar Lampung. Rasanya begitu gembira melihat lapak beralas tikar
untuk rebahan dan istirahat sejenak dari perjalanan yang cukup melelahkan dari
semalam.
Sempat terlelap
dalam keletihan, aku terbangun karena perut terasa lapar. Beberapa temanku
masih terlelap berjejer dengan rapihnya seperti ikan asin dipinggir pantai yang
sedang dijemur kering. Farah dan Ilham mengajak saya ke warung dekat stadion untuk
membeli sarapan nasi uduk sekaligus membungkus untuk teman-teman saya yang
masih tidur. “Disana ada nasi uduk yang
enak, biasanya rame banget, mumpung masih pagi belum habis” ucapnya.
Tak terasa waktu
sudah menujukan pukul 10 pagi, sarapan dikosan terasa begitu lezat disantap
bersama-sama dengan kondisi perut yang memang lapar karena perjalanan yang
cukup jauh. Selesai bersih-bersih, kami mencoba mencari pinjaman beberapa motor
ke tetangga kosan untuk mengelilingi kota Bandar Lampung dengan sepeda motor.
Dapat 5 motor
yang dapat dipinjam cukup bagi kami untuk berboncengan menjelajahi kota
Lampung. Plat nomornya berasal dari kota Lampung dan Padang, karena memang
mereka teman satu Kampung halaman Farah dan Yondanil yang berasal dari kota
yang sama. Dengan sepeda
motor kami menelusuri jalan di kota Lampung serta menuju perkebunan durian
ingin mencicipi durian Lampung yang memiliki cita rasa yang khas dibanding
durian lain. Tentunya akan terasa lebih nikmat jika dinikmati dari kotanya
langsung, kota Bandar Lampung.
Mendapat
informasi disekitar perkebunan durian ada tempat camping ground dan air terjun, kamipun melaju ketempat itu.
Dikarenakan pengetahuan yang terbatas mengenai kota Lampung, beberapa kali kami
bertepi untuk bertanya kepada penduduk setempat mengenai tempat itu.
Perjalanannya cukup berliku dengan kondisi jalanan yang kurang bagus, tapi kami
menikmatinya walau tak tau arah jalan yang benar.
Dengan papan
petunjuk yang ada, kami menuju air terjun itu. Suasananya begitu sepi hanya
terlihat beberapa orang yang berkunjung
kesana. Hal ini terlihat tempat dari parkiran tak lebih dari 10 motor yang
diparkir bersamaan dengan motor kami yang baru datang. Mungkin orang-orang yang ada disini memang
penduduk setempat yang sedang bermain ditempat ini.
Satu demi satu
anak tangga di jalan setapak menuju air terjun kami lewati, dengan cuaca yang
cukup terik siang itu membuat kami agak kelelahan dan terasa begitu haus
dahaga. “Semoga air terjunnya bagus,
jalan kesininya sudah jauh dan cukup melelahkan” Ucap salah satu temanku.
Perasaanku mulai tak enak, sepertinya ada yang janggal. Karena umumnya yang
namanya air terjun itu merupakan air yang mengalir di suatu tebing yang cukup
tinggi. Tapi disekelilingku tak tampak tebing yang menjulang tinggi keatas,
Semua tampak sebagai daratan yang luas yang dipenuhi pepohonan yang hijau,
suara gemercik airnya pun tak terdengar.
Firasatku cukup
benar adanya, ketika sampai ke “air terjun” itu, tak tampak seperti air terjun
yang kami banyangkan sebelumnya. Dari kejauhan terlihat beberapa anak kecil dari
penduduk setempat yang sedang telanjang mandi dengan riangnya. Mereka terlihat
begitu menikmati kucuran air dengan warna kecoklatan dari atas tebing, yang
tingginya kurang lebih hanya lima meter.
Terlihat raut
wajah yang kecewa dari paras wajah teman seperjalananku, rasanya tidak worth it jika dibandingkan dengan usaha
untuk kesini yang cukup melelahkan. Sekedar foto-foto dan sedikit bercanda
dengan anak-anak kecil yang sedang mandi di air terjun tersebut, setelah itu
kami melanjutkan perjalanan untuk mencari durian Lampung.
Disebuah lapak
dipinggir jalan kami melihat beberapa penjual durian yang menjajakan
dagangannya, kamipun memperlambat laju motor yang kami kendarai dan merapat ke
sebuah warung yang kami pilih secara acak.
“mari mampir, ini durian jatuh asli lampung rasanya manis” Seorang
Bapak paruh baya mencoba untuk menawarkan dagangannya kepada kami.
“Ini berapa pak harganya” Beberapa diantara kami bertanya dengan
pertanyaan yang sama.
Proses
tawar-menawarpun dimulai, awalnya aku enggan untuk menawar lagi, karena belum
ditawar pun sudah murah, ya tentunya apabila dibandingkan dengan harga di kota
besar bisa berkali-kali lipat harganya. Singkat kata kami mendapatkan harga
kesepakatan yang bagus, dengan uang enam pulu ribu rupiah kami dapat mencicipi 8
buah durian lampung yang nikmat.
Dagingnya berwarna kuning keemasan, dengan biji didalamnya yang cukup
besar. Rasa manisnya membaut lidah kami enggan untuk berhenti mengunyah.
Ingin sekali rasanya
menambah beberapa butir lagi, tapi dikarenakan masih ada rencana kuliner
ditempat lain dan tentunya menghidari terlalu berlebihnya mengkonsumsi durian
akhirnya kami mengurungkan niat itu. Rasanya senang sekali bisa makan durian
langsung membeli ke petaninya dengan harga murah. Dari hal ini tentunya menjadi
renungan tersendiri untuk perjalanan hari ini, terkadang kita tidak selalu
mendapatkan hal yang sesuai dengan harapan tetapi akan selalu ada hikmah dan pengalaman
baru yang akan kita kenang suatu saat kelak. Air terjun dan durian Lampung,
yummy!
Follow me on twitter : @travelographers
No comments:
Post a Comment